Kedua : perkembangan vertikal atau perkembangan yang mengarah ke atas. Dalam hal ini, daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap sama, sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana harga lahan mahal dan di pusat-pusat perdagangan.
Ketiga : Â perkembangan interstisial atau perkembangan yang dilangsungkan ke dalam. Dalam hal ini, daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota, dimana antara pusat dan pinggiran yang kawasannya dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.
     Mencermati penjabaran tulisan diatas dapat dijelaskan tentu saja tidak hanya terjadi satu persatu akan tetapi secara simultan. Sekarang ini dengan perubahan dinamika perkembangan kota nya yang semakin pesat, Tentu saja berdampak pada perkembangan kota itu sendiri yang sangat kurang baik. Sebab kota juga butuh sentuhan tangan-tangan yang dapat menggugah hati, pikiran dan yang mau/mampu untuk bertindak.
    KOTA juga merupakan hasil suatu karya seni sosial, kota juga sebagai arena pergulatan antar berbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Misalnya, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan infra struktur dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan kepentingan warganya. Yatno Wibowo,ST pada 12 desember 2006
     Oleh sebab itu, menelisik pada kenyataan tersebut, Idealnya kota Yogya dengan adanya perbedaan kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi, dan lain-lain, Seharusnya kota Yogya itu harus lebih mampu mendorong terciptanya wajah kota yang berkarakter sehingga tidak monoton pada façade kotanya. Kevin Lynch dalam The city environtment, 1965. Menguraikan bahwa penampilan dan wajah kota bagikan mimpi buruk. Bagaimana tidak, monotonitas, serba sama, tak berwajah, lepas dari konteks alamnya dan sering tidak terkendali, tidak manusiawi. Selain itu, air dan udaranya kotor, jalan-jalannya sangat berbahaya dan dipadati oleh berbagai jenis kendaraan bermotor, papan reklame mengganggu pemandangan. Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin semakin menganga melebar. Penataan ruang kota dan lingkungan hidup memanglah rumit dan begitu pelik, karena sudah menyangkut berbagai benturan antara pendekatan teknokratik-komersial-ekonomis dan pendekatan demokratik-humanis-ekologis.
     Tentu saja dengan bentuk keseragaman wajah kota akan mengakibatkan tidak adanya identitas kota yang menjadi ciri khas dan kemudian akan disusul dengan memudarnya kebudayaan asli karena pergeseran nilai-nilai dengan apa yang disebut modernisme. Dampak yang begitu terasa itu adalah terjadinya kejenuhan dalam sikap masyarakat kota hingga pada muaranya akan berdampak ke persoalan urbanisasi. Kemudian muncul sebuah pertanyaan apakah Urbanisasi adalah solusi?, Mengapa kita secara visioner tidak mengubah sebuah presepsi dan perilaku yang mampu untuk menjawab persoalan kesejahteraan warganya dengan membuat generator kegiatan ekonomi lokal dengan skala meluas sehingga mampu memberikan peningkatan kesejahteraan dan membuat para penghuninya merasa lebih betah, nyaman untuk berhuni bahkan menyehatkan.
     Kota, Ibarat seperti sebuah pertunjukan orkerstra yang mampu memahami setiap dawai-dawai dalam cerminan suara hati yang ditransformasikan dalam bentuk bahasa desain. Dapat dibayangkan, jika Kota Yogyakarta yang kaya dengan kearifan budaya lokal dan kesenian tradisional apabila dapat diwujudkan dengan memadukan unsur-unsur tersebut masuk keranah setiap proses perancangan dan perencanaan arsitektur-kota nya, Tentu saja akan menjadikan kota Yogya mempunyai roh tersendiri secara citra rasa dalam setiap urat nadi sudut kota nya. Kajian J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah lain di nusantara yang ternyata tidak cuma menunjukkan dominannya pemikiran indrawi semata. Kajian ini dapat kita jadikan landasan referensi nan apik sehingga, Kita semua juga dapat belajar pada pola kesederhanaan masyarakat pada perkampungan tradisional Nias, kampung Naga dll, Kita juga dapat belajar terhadap kecanggihan struktur nan rumit pada bangunan-bangunan kraton yang ada di seluruh nusantara, struktur bangunan candi-candi dan lain-lainnya. Kemudian ada sebuah pertanyaan mengapa tradisi pemikiran yang telah menghasilkan kesederhanaan yang agung dan kecanggihan struktur nan rumit ini terputus di era kini ?
    Nah, keterputusan tradisi jelas akan mengakibatkan khazanah arsitektur lokal yang sebetulnya sangat kaya sebagai sumber inspirasi itu belum secara masife dijadikan sebagai dasar penciptaan karya-karya di era kini. Pada sisi lain apakah kita juga tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada diluar sana. Bahkan jika dibandingkan dengan karya-karya di nusantara pada masa silam. Sebagai upaya mengarahkan sumber daya material yang real dan tenaga ke arah pencarian "identitas diri". Tentu saja peran para arsitek, para perencana kota dan lembaga yang menaunginya tidak boleh menyerah pada nasib dan membela diri. "Kita sekadar merancang dan merencana, tetapi keputusan akhir hanya akan ditentukan para penentu kebijakan, tingkat elit birokrasi, dan para penyokong kekuasaanya," Seharusnya dari persoalan ini perlu disadari secara bersama bahwa yang seharusnya dilakukan menganggap hal yang demikian itu adalah merupakan bagian dari tugas mulia-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H