Pulang kekotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna…
     Itu adalah sepenggal lirik lagu popular disekitaran tahun 90-an yang dinyanyikan salah satu musisi legendaris Indonesia. Secara tematik lirik tentu saja si penulisnya ingin menyiratkan sebuah ikatan batin dengan kota yang membangkitkan kenangan waktunya. Tentu bagi saya, anda atau siapapun anda yang bahkan pernah bertinggal di kota Yogyakarta, Pasti akan selalu teringat atau bahkan akan selalu rindu untuk kembali merasakan sebuah romantisme atsmosfir berhuni di kota budaya, kota pelajar dan kota pariwisata ini. Dimana geliat setiap gerak perubahan dan pembangunan kotanya yang semakin hari menunjukkan sebuah kecenderungan meningkat pesat dalam beberapa dekade. Hal Ini sesuai dengan dialektika perkembangan modernisasi yang menuntut selalu adanya penyesuaian bagi setiap sektor yang mendukung perkembangan kotanya.
     Dapat dicermati bagaimana dinamika sebuah kota itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat didalamnya. Demikian juga atau sebaliknya. Artinya, Perkembangan masyarakat terungkap dalam perkembangan kota itu sendiri. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat tentu saja akan selalu memiliki kecenderungan mengekspresikan kehidupannya melalui perkembangannya. Dalam sebuah atikel ISBEDY stiawan Z.S pada SKH Lampung Post, 19 Juni 2004. Kota tanpa ruang komtemplatif Penulis mencoba untuk merefleksikan "kenangan yang berjalan", Dalam persektifnya penulis melihat bahwa, Kota adalah sebuah sajak yang terdedah karena alam dan didedahkan sistem dan kebijakan. Namun, dari sisi wajah arsitektur yang begitu dinamik dan problematik belum banyak terungkapkan. Tentu saja hal ini bisa saja terjadi dan dirasakan oleh setiap insan atau warga masyarakat yang berhuni dalam sebuah kelompok komunitas masyarakat dimanapun ia berhuni. Terlebih ketika ungkapan-ungkapan tersebut berhasil untuk membangkitkan perasaan akan sebuah kenangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu, Memang hal ini bisa dianggap lumrah terjadi dan bahkan sering dialami oleh setiap warga yang bertinggal dalam sebuah komunitas/kelompok masyarakat dimanapun tempat ia berhuni. Terlebih ungkapan-ungkapan perasaan akan kenangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu, yang sekaligus dapat mengingatkan bahkan menghapus jejak sebuah memori.
     Perhatian nan seksama terhadap bagaimana dinamika kota dipengaruhi perkembangan masyarakatnya demikian pula sebaliknya. Artinya, perkembangan masyarakat terungkap dalam perkembangan kota itu sendiri. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat selalu memiliki kecenderungan mengekspresikan kehidupan melalui perkembangannya. Dalam skala kecil, misalnya, keluarga sebagai rumah tangga selalu ingin memperbaiki dan mengembangkan rumah sesuai dengan kemampuannya, terutama jika memiliki rumah sendiri. Dalam realitasnya, hal ini sedikit berbeda jika rumah yang ditempati keluarga itu bukan milik sendiri. Munculnya masalah tersebut karena perasaan akan identitas tempat-nya agak tergedradasi. Aspek itu juga perlu diperhatikan dalam skala yang lebih besar, jika rasa memiliki itu sudah tidak dipunyai masyarakat setempat, maka perasaan akan identitas terhadap suatu tempat menjadi hampa. Sehingga, dorongan untuk membangkitkan rasa memiliki dan mengembangkan kawasan yang baik sesuai dengan perkembangan masyarakat pun menjadi tidak signifikan.
       Markus Zahnd (Perancangan Kota Secara Terpadu - Kanisius Soegriyapranata University Press, 1999) menyebutkan ada tiga istilah teknis yang menggambarkan sebuah perkembangan kota yakni :
Pertama : perkembangan horizontal atau perkembangan yang mengarah ke luar. Artinya, daerah bertambah, sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pinggir kota, di mana lahan masih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota (di mana banyak keramaian).