"Ketika teman-teman di sebelah menuduh ada politisasi agama dalam berpolitik, teman-teman di sebelah yang lain juga melakukan hal yang sama: politisasi agama dalam berpolitik, meski bentuk dan kemasannya lain. Sami mawon, sama saja! Gunakan cara-cara berpolitik yang beradab. #PKB No.1 juara 1," cuit Marwan Jafar dalam akun twitternya, Senin (26/2/2018).
------
Dalam beberapa bulan terakhir, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (Partainya Gus Dur) Muhaimin Iskandar, sepertinya sudah mulai bermanuver, start kampanye menawarkan diri untuk menjadi pendamping 'Jokowi' di Pilpres 2019 mendatang.
Tidak hanya Caper dan terus nempel ke Jokowi, spanduk-spanduk dan Reklame bertuliskan 'Cawapres 2019' pun sudah mulau berserakan. Meski Pilpres dan masa kampanye masih lama, tim Sang Panglima Santri itu sudah mulai berani dan terang-terangan melanggar aturan.
Selain menyebar spanduk dan Caper ke Jokowi, ada strategi menarik lain yang dilakukan Cak Imin bersama tim, yang mungkin belum banyak orang amati dan ketahui. Ya, strategi tersebut, yakni "Politisasi Agama" ala Panglima Santri.
Strategi ini berbeda dengan politisasi agama sebagaimana yang dilakukan oleh 'orang-orang sebelah' beberapa waktu lalu. Ini lebih licin dan mungkin lebih licik lagi. Strategi ini juga tidak main sara dan rasis. Ritme yang dimainkan Cak Imin lebih kepada popularitas tokoh agama yang ada di Indonesia serta ritual-ritual keagamaan.
Maka, siapapun tokoh tersebut, yang penting dia masih percaya tahlil, ziarah kubur dan ber-ahlussunnah wal jamaah, pasti akan didekati oleh Cak Imin. Maka jangan heran bila beberapa waktu lalu ia tertawa terbahak-bahak satu meja dengan da'i kondang UAS. Juga jangan heran bila 'seandainya'suatu saat HRS pulang ke Indonesia, 'kemungkinan' ia juga akan membela mati-matian.
Tak hanya PDKT ke tokoh-tokoh agama, kegiatan-kegiatan keagamaan pun seringkali didesign seolah demi kepentingan ummat, padahal sejatinya tak lebih untuk kepentingan politis.