Mohon tunggu...
Novaldi ARaska
Novaldi ARaska Mohon Tunggu... Lainnya - Penyembah Tuhan Yang Ahad

Sekadar tulisan penghambaan diri kepada Yang Maha Agung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Catatan Perjalanan

27 Maret 2021   09:59 Diperbarui: 27 Maret 2021   09:58 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan Perjalanan

Disini gelap, sangat gelap.
Apakah di rumah kalian terang benderang?
Ah, betapa indahnya jika demikian.
-
Aku kini berada di tengah hutan belantara.
Sebuah keputusan bulat, demikian yakinku.
Yang kemudian membawa langkahku menapaki jalan setapak.
Di antara rerimbunan pohon raksasa.
-
Pada awalnya aku hanya terus melangkah.
Semakin jauh masuk ke dalam pelukan kesunyian belukar.
Aku mengawali langkahku kala matahari di dunia luar hendak pergi.
Sambil terus mencari sebuah titik dimana aku akan berhenti.
Hingga akhirnya aku terpaksa berhenti sebab lelah dan dahaga.
Sebenarnya aku tidak yakin; Apakah aku benar lelah atau hanya merasa putus asa?
-
Hutan rimba yang tak dapat kuterka ujungnya ini, begitu senyap.
Bahkan seekor semut saja tak dapat kutemukan di antara pepohonan.
Dan hal-hal gila, datang kemudian.
-
Aku yang masih sibuk bercumbu dengan lamunan.
Seteguk dua teguk menikmati air dari sebuah bejana berlambangkan bintang kejora.
Dibuyarkan oleh bisikan yang tak asing kudengar.
"Mati.. Mati.. Mati.."
-
Aku yang terperanjat, kemudian bermunajat.
"Hei, Tuhan! Su selesaikah perjalanan beta kali ini?"
"Ringkas sekali perjalanan yang belum saja dua hari."
Aku terus menggerutu, di tengah kepulan asap cerutu yang menggumpal di wajahku.
-
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan, beberapa kehidupan silam.
Tepat di kehidupanku sebelum ini, aku teringat apa yang terjadi.
Sembari membawa gergaji mesin, mengendap-endap di kala hari mulai gelap.
Di tengah kecemasan, aku menebang pepohonan bersama rekan sepenanggungan.
-
Sejurus setelahnya, alat yang kugunakan berbalik melawanku.
Lalu membelah tubuhku menjadi dua, dari bawah hingga ke ujung kepala.
Benar-benar menjadi dua, hingga aku tidak lagi mengenali batang kejantanan yang dahulu perkasa.
-
Ruhku yang telah bebas dari raga, hanya mampu meratap.
"Oh, kasihan."
-
Jauh sebelum kehidupan yang baru saja kuceritakan.
Aku terbangun sambil mengenakan kemeja berdasi.
Terduduk di depan meja penuh hamparan kertas yang harus kutanda tangani.
Lalu setelahnya, aku ingat harus berkunjung ke lokasi tambang yang aku naungi.
-
Kala itu, aku sedang berada di puncak bahagia.
Hidup mapan lagi kaya raya.
Hingga kemudian di tepian bekas galian, datanglah angin ribut dari arah utara.
Mendorongku hingga jatuh ke dalam lubang bekas galian yang terbuka.
-
Aku yang tak bisa berenang, lalu tenggelam.
Napasku terasa putus.
Pun bahagiaku segera pupus.
"Oh, kasihan."
-
Terakhir, terlintas bayangan kehidupanku yang pertama.
Aku terlahir sebagai seorang cendikiawan terkemuka.
Telah belajar kepadaku ribuan orang melalui sebuah perguruan.
Dan aku hidup diliputi kehormatan.
-
Di ujung hayatku pada kehidupan itu, aku ingat apa yang terjadi.
Telah datang kepadaku dua manusia berstatus mahasiswi.
Sembari membawa tumpukan kertas, serta harap agar tanda tangan kububuhi.
Dengan pongah aku berkata enggan, dan dengan sukarela penuh rayu mereka menjajakan diri.
-
Ah, sialan!
Siapa yang bisa menolak melahap dua wanita tanpa pakaian?
Tanpa usaha lebih, aku mendapat kenikmatan bermodalkan jabatan.
-
Di tengah permainan panas penuh gelora surgawi.
Aku dikejutkan kedatangan makhluk biadab penuh dengki.
Siapa lagi kalau bukan Izrail yang ditugaskan menjemputku mati.
-
Awalnya aku tidak memerdulikan kehadirannya.
Hingga kemudian ia mencekikku.
Menarik ruhku dari ujung kemaluan.
Dan aku mati tanpa pakaian, di sisi dua pelacur yang mengharapkan tanda tangan.
"Oh, kasihan."
-
Kembali ke hari ini.
Aku benar-benar kebingungan.
Apakah Tuhan yakin mengirim sebuah bisikan kematian?
Lantas, apa dosa yang belum saja dua hari disini kulakukan?
-
Tak ingin terlalu lama dalam lamunan, aku meneruskan perjalanan.
Dengan berjalan ke arah tenggara, terus menyusuri pepohonan.
Aku berhati-hati agar kehidupanku kali ini, tak lagi jatuh ke dalam kemaksiatan.

Medan, 25 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun