Kearifan memilah dan memilih diksi bukan hal baru dalam peradaban manusia. Memang benar jika keterampilan menguntai kata lahir lebih muda dibandingkan keterampilan menggambar. Namun tak bisa dipungkiri rekam jejak pradaban manusia terlihat lebih jelas melalui perkembangan bahasa dan tulisan. Bahasa tidak pernah sekedar tulisan. Ia mampu menggambarkan corak kehidupan bermasyarakat, politik, bahkan life style manusia. Meski begitu, kita perlu cermaat dalam memahami apa yang tersirat dalam suratan masa lampau.
Berkenaan dengan memahami suratan masa lampau Indonesia, kita bisa mempelajari beberapa sastra yang ada dari prasasti kerajaan-kerajaan di Nusantara atau naskah-naskah kuno. Ada unsur sastra menarik yang ada dalam kesusastraan lama pendahulu kita, yaitu kutukan. Yeah, benar-benar sebuah kutukan yang diresmikan bahkan oleh pemilik kekuasaan. Sama dengan judul yang saya sampaikan pada artikel ini, kutukan dalam sastra masa lampau bukanlah hal yang aneh. Bahkan kutukan juga merupakan bagian dari kesakralan keepercayaan masa itu. Contoh dari kutukan bisa kita temui dalam prasasti kerajaan hindu maupun budha, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Adapun contoh-contoh yang bisa kita ambil adalah beberapa isi dari prasasti berikut:
“Selain itu, telah aku perintahkan mengawasi kalian (keluarga istana, pejabat, saudagar, maupun rakyat biasa) kalian … akan terbunuh … bersama pasangan kamu serta putra-putri kamu … keturunanmu akan diberi hukuman dari aku. Begitu pula … kamu akan terbunuh karena kutukan ini. Kamu akan dihukum bersama putra-putrimu, pasanganmu, keturunanmu, sanak keluargamu, serta kawan-kawan kamu”.
(Prasasti Telaga Batu Sriwijaya. Sumber Kemendikbud.go.id)
Kutukan di atas bisa ditemui dalam Prasasti Telaga Batu. Prasasti tersebut merupakan prasasti dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Prasasti ini memiliki baris tulisan yang cukup banyak, yaitu ada dua puluh delapan baris. Prasasti ini imgin menekankan ketundukan dan kesetiaan mutlak pada raja. Mengenai orang-orang yang disumpah untuk setia diantaranya adalah putra raja, menteri, bupati, panglima, bangsawan, raja taklukan, hakim, rakyat jelata, ahli senjata, juru tuli, arsitek, nahkoda, saudagar, dan beberapa profesi lain. Dengan prasasti berisi kutukan ini raja ingin mengukuhkan kekuasaannya dan menekan pemberontakan. Hal ini karena Sriwijaya adalah kerajaan besar yang bahkan memiliki kerajaan taklukan dan putra raja sebagai penguasa daerah tertentu. Untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan sebesar itu dan tetap mempertahankan kesetabilan negara, harus ada cara yang berdampak luas dan tetap kondusif. Dengan kebutuhan tersebut, banyak sastra yang berkembang dari kerajaan. Ada sastra yang berbentuk petuah kepahlawanan atau patriotisme, kecintaan pada tanah air atau nasionalisme, atau yang berupa kutukan seperti Prasasti Telaga Batu.
Tidak hanya pada masa Sriwijaya, sastra yang menggunakan kutukan juga masih berlangsung hingga masa Kerajaan Mataram kuno. Kutukan tersebut ada dalam prasasti yang baru ditemukan di awal tahun 2022 kemarin. Isi dari prasasti tersebut semakin meningkat dari segi kesusastraan. Sebagian teks prasasti tersebut adalah sebagai berikut:
“ potong moncongnya, belah kepalanya, robek perutnya sisakan organ dalamnya… makan dagingnya minum (darahnya), lalu lengkapi dengan siksaan… jika menuju hutan dimakan macan dipatuk ular pula… oleh dewamanyuh jika pergi ke tegalan disambar petir, dirobek-robek oleh raksasa dimakan oleh Wuil si Pramunguan, indahkan kalian wahai hyang kusika gargametri kurusya patanjala pelindung arah utara, pelindung selatan, barat, timur buang ke angkasa dirobek oleh hyan. Semuanya jatuhjan ke mahasamudra tenggelamkan di dawuhan (bendungan). Bawalah sang hyang dalam air terik (dibawa ikut) oleh tuwiran, dicaplok oleh buaya. Matilah orang tersebut dianiaya.… mbur tersebut di tanah sawa…”
Pembawaan kalimat dengan diksi yang semakin kompleks di atas menunjukan adanya perkembangan sastra berbentuk kutukan dalam masyarakat masa lampau. Dalam konteks ini kalimat kutukan yang ada dalam prasasti sering tidak disadari sebagai sebuah sastra. Hal ini karena kalimat tersebut diyakini bukan sekedar untaian kalimat biasa, tapi benar-benar mengandung kekuatan magis di dalamnya. Tak hanya itu, karena kalimat tersebut ditulis di prasasti, secara tidak langsung itu berarti suatu bentuk otoritas kerajaan. Masyarakat secara umum akan menganggap kalimat kutukan tersebut sebagai hal yang sacral tanpa pernah mencoba melihatnya sebagai sebuah sastra. Meski begitu, dengan pemilihan diksi yang tidak sembarangan dan berkesan (agar memberi efek psikologis bagi pembaca masa itu), kutukan itu bisa dikategorikan puisi bila dituliskan dengan posisi yang berbeda. Tentu diksi-diksi yang ada pada masa lampau tersebut jugalah yang akan memengaruhi perkembangan sastra dan para pujangga di zaman ataupun jauh setelahnya.
Referensi