Analisis Film G30S PKI dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sosiologi, Film G30S PKI, atau "Pengkhianatan G30S/PKI", merupakan sebuah film propaganda Indonesia tahun 1984 yang menceritakan versi resmi pemerintah Orde Baru tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Film ini disutradarai oleh Arifin C. Noer dan dibintangi oleh sejumlah aktor ternama Indonesia.
Analisis film G30S PKI dari sudut pandang ilmu komunikasi dan sosiologi dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang film ini, di luar ceritanya. Berikut beberapa poin penting:
1. Komunikasi dan Konstruksi Realitas
Film G30S PKI, terutama versi Orde Baru, sarat dengan muatan ideologis dan propaganda. Film ini membangun narasi tunggal tentang peristiwa G30S PKI sebagai upaya kudeta oleh PKI yang berujung pada pembantaian para jenderal.
Melalui analisis sosiologi komunikasi, kita dapat melihat bagaimana film ini menggunakan berbagai teknik komunikasi untuk membangun realitas yang diinginkan.
- Pembingkaian: Film ini membingkai PKI sebagai pihak antagonis dan militer sebagai pihak protagonis.
- Penggunaan bahasa: Bahasa yang digunakan dalam film ini penuh dengan muatan emosional dan ideologis, seperti "bahaya komunis", "pengkhianatan", dan "pahlawan revolusi".
- Gambaran visual: Gambaran visual dalam film ini pun memperkuat narasi yang dibangun, seperti adegan PKI yang melakukan tindakan brutal dan militer yang heroik.
Teknik-teknik komunikasi ini digunakan untuk memanipulasi opini publik dan membangun rasa kebencian terhadap PKI.
2. Media dan Hegemoni Makna
Film G30S PKI diproduksi dan didistribusikan secara masif oleh Orde Baru melalui berbagai media massa, seperti televisi, bioskop, dan radio. Hal ini membuat narasi tunggal yang dibangun dalam film ini menjadi hegemoni, yaitu versi yang paling diterima dan diakui oleh masyarakat.
Hegemoni makna ini diperkuat dengan adanya pembatasan terhadap informasi dan suara-suara alternatif.
Akibatnya, masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun hanya terpapar pada satu versi cerita tentang G30S PKI, yaitu versi Orde Baru yang penuh dengan propaganda dan kebencian.