Mohon tunggu...
Nova Ermawati
Nova Ermawati Mohon Tunggu... Apoteker - Guru, Apoteker, Mahasiswa S2 USD Yk

seseorang yang masih terus belajar...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pharmaceutical E-Commerce di Indonesia: Keuntungan, Risiko, dan Kesadaran Masyarakat

14 Juni 2022   22:57 Diperbarui: 16 Juni 2022   14:16 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi khususnya internet mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali perdagangan. Perdagangan yang menggunakan jaringan internet lebih dikenal dengan sebutan e-commerce (electronic-commerce). 

Dalam sistem ini, transaksi penjualan bisa terjadi secara online melalui digital market place (tokopedia, shopee, blibli.com, lazada, dsb), yang merupakan salah satu sarana pemasaran produk (Kominfo,2014). 

Tidak terkecuali, bidang kefarmasian-pun juga ikut mengambil bagian dalam Pharmaceutical e-commerce di Indonesia. Di USA (United States of America), sistem ini sudah terlebih dahulu muncul, paling tidak 2 dekade yang lalu. 

Salah satu artikel oleh Henney (Henney,2001) mengkaji tentang keterlibatan FDA (Food & Drug Administration) dalam mengatur Pharmaceutical e-commerce, dengan tujuan menjamin keselamatan konsumen yang membeli obat secara online. 

Sudah selayaknya, pharmaceutical e-commerce ini digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, utamanya dalam meningkatkan keterjangkauan obat ke seluruh lapisan masyarakat. 

Namun, ternyata masih ada pihak-pihak yang dengan sengaja menyalahgunakan sarana tersebut untuk menjual obat keras yang dilarang peredarannya melalui daring.

Sebenarnya, apakah semua jenis/golongan obat boleh diedarkan secara daring? Ternyata pemerintah kita di tahun 2020 telah mengeluarkan sebuah peraturan, dalam hal ini Peraturan dari Kepala BPOM No. 8 Tahun 2020 (Anonim,2020). 

Peraturan ini berisi mengenai Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring. Secara ringkas untuk menjawab pertanyaan di atas, jawabannya ada di peraturan BPOM tersebut. Lalu apa saja jenis obat yang tidak boleh diedarkan secara online? 

Obat-obat tersebut antara lain adalah obat keras jenis psikotropika (contohnya: diazepam,xanax), obat golongan narkotika, obat keras untuk disfungsi ereksi (contohnya: sildenafil, tadalafil), obat keras tertentu (tramadol, dsb). 

Meskipun ada resep asli yang ditulis oleh dokter, namun penggunaannya tetap dibatasi, yaitu harus dibeli secara langsung di apotek. 

Lalu, kalau demikian apakah boleh membeli antibiotik, atau obat lain yang memiliki tanda K dalam lingkaran berwarna merah tersebut, secara bebas, tanpa batasan jumlah secara online? 

Tentu saja tidak boleh seperti itu. Pembelian obat keras selain jenis obat yang dilarang peredarannya secara online, tetap harus disertai dengan upload resep asli dari dokter. 

Sebagai contoh dalam salah satu platform market place milik anak bangsa, telah membuat aturan pembelian antibiotik dan beberapa obat keras dengan syarat mengupload resep. 

Lalu, lebih jauh lagi, mengapa kok harus ada peraturan yang terasa membebani seperti itu ya? Mengapa jika pharmaceutical e-commerce itu bisa meningkatkan keterjangkauan ke seluruh wilayah di Indonesia, lalu mengapa kebebasan ini harus dibelenggu oleh aturan-aturan tersebut? 

Padahal semestinya e-commerce ini bisa menjadi sarana yang sangat menguntungkan. Menguntungkan bagi penjualnya, juga bagi pembelinya. Kan jadinya sama-sama untung, sama-sama senang? Lalu kenapa ada aturan larangan peredaran obat-obat di atas secara online?

Jawaban dari pertanyaan di atas kiranya adalah usaha dari Pemerintah, dalam hal ini BPOM, untuk melindungi keselamatan konsumen yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri. Legalitas dari obat yang diedarkan secara daring melalui digital market place, tidak seluruhnya dapat terjamin. 

Obat palsu, obat substandard, obat ilegal bisa saja dengan bebas beredar melalui daring, karena pengawasannya tidak semudah mengawasi obat yang dijual di apotek secara langsung. 

Risiko yang timbul dari obat-obat tersebut pastinya cukup berbahaya apalagi jika diminum jangka panjang. Mengkonsumsi obat palsu dengan zat aktif yang tidak diketahui isinya secara pasti, sudah tentu tidak akan menyembuhkan pasien yang mengkonsumsinya. 

Belum lagi efek-efek negatif yang bisa mengancam jiwa dari si pasien. Demikian juga dengan obat substandard (obat yang kandungannya sama/sesuai, namun jumlahnya jauh lebih kecil), yang akhirnya outcome terapi juga tidak akan tercapai. 

Lalu, apalagi risiko-risiko yang bisa terjadi dari pembelian obat keras secara bebas, tanpa batasan jumlah dan tanpa disertai resep dokter? Tentunya risiko efek samping bisa dirasakan oleh pasien, dan ini tergantung pada jenis obatnya. 

Sebut saja penggunaan antibiotik secara serampangan, dapat menimbulkan risiko resistensi antibiotik. 

Penggunaan obat jenis kortikosteroid (deksametason, metil prednisolon, dsb) yang serampangan, dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan distribusi lemak tubuh (moon face, buffalo hump, dsb) serta risiko hipertensi, hiperglikemik, imunosupresi, gangguan saluran cerna serta osteoporosis. 

Pembelian secara daring melalui market place yang tidak membatasi jumlah pembeliannya, tentunya merupakan godaan tersendiri, sebuah kemudahan dan kenyamanan dalam akses. 

Hal ini bisa juga disalahgunakan oleh produsen jamu yang nakal, yang mencampur jamunya dengan obat kimia sintetik, sehingga khasiatnya lebih cepat dirasakan oleh pembeli. 

Hmmmmm...cukup berbahaya juga ya risiko-risiko yang mungkin bisa dialami oleh masyarakat yang membeli obat secara daring.

Satu lagi yang saya amati adalah adanya penjualan obat disfungsi ereksi (sildenafil, tadalafil dan obat-obat dengan merek dagangnya) secara online. 

Tidak perlu menyebutkan digital market place nya, namun jika kita "awas" dalam mengamati, pastinya masih ditemui. Mengapa obat-obat tersebut dilarang peredarannya secara online? 

Saya kurang tahu alasannya, namun posisi saya disini hanya seorang mahasiswa S2 yang ingin membagikan beberapa jurnal yang saya baca mengenai sildenafil. 

Sildenafil ini dipatenkan untuk khasiatnya sebagai obat untuk mengatasi disfungsi ereksi pada tahun 1998 oleh FDA. 

Ada beberapa negara yang memperbolehkan penjualan sildenafil tanpa resep dokter, walaupun tetap dalam pengawasan tenaga kefarmasian (Auso, Gmez-Vicente and Esquiva, 2021). 

Namun hal ini tidak berlaku di Indonesia dan pembeliannya tetap harus memakai resep dokter, serta ditebus secara langsung di apotek. Dimana dalam penelitian (Auso, Gmez-Vicente and Esquiva, 2021) obat ini kemungkinan beresiko meningkatkan tekanan intraokuler pada mata ketika digunakan secara serampangan dengan dosis yang berlebihan (overdosis). 

Tentunya yang dapat menjamin penggunaan sildenafil adalah dokter yang mendiagnosis pasien lalu meresepkan dosis yang sesuai, dengan diikuti pembelian sildenafil pada apotek. Bukannya dibeli secara online, tanpa resep dokter, apalagi dengan tidak adanya batasan jumlah pembelian sildenafil.

Akhirnya, semua tentunya kembali kepada individunya masing-masing. Keuntungan yang dirasakan biasanya adalah kemudahan akses dan harga yang lebih leluasa dipilih. 

Namun, di balik keuntungan tersebut, dibutuhkan sikap yang waspada akan risiko yang bisa saja dialami. Kesadaran akan keuntungan dan risiko inilah yang baik untuk selalu dijaga saat memilih untuk melakukan pembelian obat secara daring. 

Karena akhirnya kita sendiri yang akan merasakan outcome dari apa yang kita konsumsi. Kebijaksanaan dan pengetahuan akan tips dan trik dalam bertransaksi obat secara daring tentunya akan sangat menjaga keselamatan diri kita. 

Disamping dari pemerintah, dalam hal ini BPOM yang masih terus berjuang dan berproses dalam penertiban dan pengawasan peredaran obat melalui daring.

Salam sehat untuk kita semua......

Oleh: apt. Nova Ermawati, S.Farm.
(Penulis adalah mahasiswa S2 dari Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)     

Referensi:

1. Kominfo (2014) E-Commerce - BPPTIK. Available at: https://bpptik.kominfo.go.id/2014/12/19/645/e-commerce/ (Accessed: 10 March 2022).

2. Henney, J.E. (2001) 'Cyberpharmacies and the role of the US Food and Drug Administration', Journal of Medical Internet Research. Journal of Medical Internet Research, pp. 7--20. doi:10.2196/jmir.3.1.e3.

3.  Anonim. Peraturan BPOM RI Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring. Jakarta, Indonesia: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia; 2020.

4. Aus E, Gmezvicente V, Esquiva G. Visual side effects linked to sildenafil consumption: An update. Biomedicines. 2021;9(3).

5. Satgas Pemberantasan Obat Dan Makanan Bongkar Gudang Produk Ilegal (2021). Available at: https://www.infosehatkeluarga.com/satgas-pemberantasan-obat-dan-makanan-bongkar-gudang-produk-ilegal/ (Accessed: 31 March 2022).

6. Kemenkes RI (2011) 'Modul Penggunaan Obat Rasional', Modul Penggunaan Obat Rasional [Preprint].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun