Mohon tunggu...
Nova PutriNayanto
Nova PutriNayanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

hi ! saya mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Politik dan Budaya Islam dalam Konteks Nasionalisme: Studi Kasus Khilafah di Indonesia

16 Juni 2024   15:33 Diperbarui: 16 Juni 2024   15:51 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia sebagai negara yang majemuk memiliki banyak keberagaman suku, budaya, bahasa daerah, agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang artinya "berbeda-beda tetapi tetap satu" merupakan semboyan nyata yang menjadi kekuatan dalam persatuan di tengah keberagaman. 

Walaupun keberagaman tersebut merupakan kekuatan untuk memperkaya budaya bangsa Indonesia, namun prinsip demokrasi, toleransi, dan persatuan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga integritas bangsa dan negara. 

Namun seperti yang kita ketahui bersama bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, hal tersebut yang membuat beberapa pihak melahirkan ide konsep negara khilafah. Khilafah merupakan sebuah model pemerintahan Islam yang menerapkan hukum syari'at Islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah secara menyeluruh dibawah kepemimpinan seorang khalifah.

Konsep tersebut telah mengundang banyak perdebatan karena dianggap tidak sesuai dengan kemajemukan yang ada di Indonesia. Penerapan konsep khilafah juga tidak sesuai dengan prinsip dasar Indonesia yang dibangun di atas fondasi Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara yang dibangun di atas fondasi Ketuhanan namun tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. 

Sementara konsep khilafah tersebut hanya berfokus pada satu agama yaitu Islam, dan dinilai tidak memenuhi kebutuhan dan kepentingan beragam agama yang ada dan diakui di Indonesia. Jika kita menarik pada sejarah, di mana sila pertama pada Piagam Jakarta berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" telah dihapus tujuh suku kata setelah kata "Ketuhanan" tersebut untuk lebih memprioritaskan kesatuan dan persatuan dalam kebersamaan dan tidak lebih memprioritaskan satu agama, maka hingga saat ini sila pertama tersebut berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa" yang berarti negara mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak menganut satu agama tertentu yang resmi di suatu negara. Beberapa tokoh Islam pun menyetujui dihapusnya tujuh suku kata tersebut diantaranya Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah kala itu)  dan Wahid Hasyim (Tokoh yang berperan penting berdirinya organisasi Islam NU).

Dalam perspektif politik, konsep khilafah merujuk pada sebuah model pemerintahan Islam pada sebuah negara yang dipimpin oleh seorang khalifah. Jika melihat pada Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 berbunyi "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". "Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan". 

Dalam ketentuan yang telah tercantum pada pasal tersebut membuktikan bahwa semua warga negara yang telah memenuhi ketentuan berhak menjadi pemimpin di negeri ini, tidak harus yang memiliki latar belakang beragama Islam. Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menekankan bahwa sistem pemerintahan itu harus sesuai dengan keadaan masyarakat. 

Hal tersebut bukan berarti mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam maka harus dengan sistem pemerintahan khilafah, namun bagaimana sistem pemerintahan itu harus memperhatikan kondisi masyarakat secara menyeluruh, artinya jika melihat kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, maka konsep pemerintahan khilafah itu tidaklah relevan dan berpotensi akan memecah belah bangsa dan menghancurkan intergrasi kesatuan dan persatuan negeri ini.

Dalam perspektif budaya Islam, konsep khilafah salah satunya berfokus pada pengganti Rasulullah saw dalam mengatur urusan agama dan dunia. khilafah sebagai sistem pemerintahan merupakan fakta sejarah yang dipraktikkan khulafaur rasyidin, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. 

Model pemerintahan khilafah cocok pada zamannya khulafaur rasyidin  karena kondisi sosial dan politik pada masa itu sangat mendukung keberhasilan model pemerintahan khilafah. Hal tersebut juga dikarenakan masih besarnya pengaruh kepemimpinan dan pemerintahan Rasulullah saw, masyarakat yang relativ homogen yang memiliki persamaan nilai dan tujuan, juga masyarakat yang belum dikelompokkan di bawah suatu pemerintahan tertentu. 

Jika melihat sekarang, di mana salah satunya masyarakat yang relativ tidak memiliki persamaan nilai dan tujuan, maka sistem pemerintahan khilafah sudah sangat tidak relevan jika diterapkan di Indonesia yang memiliki keberagaman khusunya dalam hal agama. Serta perlu diketahui bahwa Indonesia bukanlah negara agama yakni negara yang tidak mencantumkan salah satu agama dalam dasar konstitusi atau dalam suatu pemerintahan tertentu, namun Indonesia adalah negara beragama yakni negara yang menuntut setiap penduduknya harus beragama sesuai dengan kepercayaan masing-masing dan tidak dipaksakan pada satu agama saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun