Sistem pemerintahan daerah kita sudah melalui beberapa dekade mulai dari zaman hindia belanda, pendudukan Jepang, kemerdekaan, orde baru, sampai era reformasi. Kita pun sudah menganut sistem daerah otonom dimana sistem ini berkembang sesuai dengan perkembangan permasalahan yang terjadi. Seperti apa yang diungkapkan James W Fesler, otonomi daerah bukanlah tujuan akhir tapi merupakan instrument untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga daerah memiliki beberapa kewenangan yang bisa dikelola untuk menjadikan masyarakatnya sejahtera. Kita perlu mengarisbawahi kata “masyarakat menjadi sejahtera”. Bagaimana ? tentu saja dibutuhkan pengelolaan atau manajemen daerah yang professional. Siapa ? tentu saja harus ada yang mengkomandani, suatu daerah membutuhkan seorang pemimpin, bisa itu bupati,walikota ataupun gubernur. Pemimpin yang “kuat” dalam politik dan administrasi,tujuannya untuk membantu mencapai kesejahteraan di daerah yang ia kelola.
Secara sederhana fungsi pemerintahan ada tiga, yaitu services, regulation, dan empowerment. Setiap pemerintahan pasti memiliki regulasi yang jelas untuk beberapa aspek yang tujuannya untuk menjalankan pelayanan yang optimal sehingga nantinya masyarakat bisa berdaya sendiri dan nantinya pemerintah hanya tinggal memantau, mengontrol dan menindak.
Seorang pemimpin pasti atau seharusnya mengetahui setiap permasalahan yang ada di daerah nya. Karena seorang pemimpin tidak bekerja sendirian. Seorang pemimpin “dijembatani” oleh birokrasi, tangan kesuksesan sebuah kebijakan atau program berada di street level birokrat atau birokrat/instansi yang paling sering bertemu dengan masyarakatnya. Mulai dari kelurahan – kecamatan – dinas terkait – sekda – pemimpin daerah. Lalu prosedur standar bila ada permasalahan yang terjadi di daerah ialah dengan melapor ke birokrasi terdekat.
Seperti pengalaman yang pernah terjadi di Kota Jogja. Dimana Sungai kali code tercemar limbah yang melalui saluran limbah hotel garuda pada tahun 2010. Masyarakat melapor ke Kelurahan setempat lalu ke Kecamatan. Kecamatan menindaklanjuti dan aparat terkait dari dinas ketertiban dan BLH langsung turun ke sungai/lokasi untuk diadakan pengambilan sampel, yang didahului dengan pengecekan dokumen saluran limbah milik hotel tersebut. Ternyata dari sampel dengan IPAL yang ada pada hotel garuda berbeda. Lalu dilakukan penelusuran ternyata bukan hotel garuda yang melakukan pencemaran akan tetapi ada bengkel yang mencuri saluran pembuangan tanpa sepengathuan garuda.
Pemilik bengkel tersebut diproses sesuai dengan perda kebersihan no 18 tahun 2002 dengan ancaman 3 bulan dan denda administrasi 20 juta.Bengkelnya masih tapi disuruh memperbaiki pembuangan dan tidak boleh menyambung dan membuat pengolahan sendiri.
Kasus Citarum
Permasalahan di Citarum secara sederhana bisa diselesaikan melalui mekanisme pelaporan kepada dinas terkait, seperti apa yang pernah terjadi di Kota Jogja. Tapi permasalahan akan sulit diselesaikan bila ada hal-hal yang menjadi “dibuat sulit”.
Misal secara sederhana, di Jogja ada BLH, secara berkala melakukan pengecekan terhadap instalasi pengolahan air limbah di beberapa perusahaan maupun hotel apakah sesuai dengan izin usahanya, bagaimana amdalnya dan sesuai tidak dengan perda yang berlaku. Sehingga bisa mencegah terjadinya pencemaran. Namun menjadi masalah bila aparat yang ditugaskan pengecekan telah melakukan “sesuatu”
Misalnya saja hasil survey dari green peace yang dimuat di kompas.com yang berjudul “tanda tanya di sungai citarum”, ini bisa menjadi masukan ilmiah kepada pemerintah daerah. Dimana “jembatan pemerintah” harusnya melaporkan kepada pemimpin daerah ataupun tidak perlu menunggu instruksi pemimpin daerah, tapi kerjakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun menjadi masalah bila “sesuatu” hal yang ingin ditindak itu ada hubungannya dengan kekuasaan yang sedang berkuasa.
Pemerintah seharusnya tidak usah takut, bila tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan bukti sudah didapatkan, tuntut saja itu perusahaan. Suruh mereka yang melakukan pembersihan, tanggung jawab sosial dari perusahaan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Pemkot Jogja, menuntut karena melanggar perda kebersihan. Kecuali ada “invisible hand” itu tadi yang membuat pemerintah nyalinya menjadi ciut.
Selain itu kebijakan sungai tidak bisa dilakukan pada satu sisi saja, karena itu dari hulu ke hilir. Bila pencemaran itu berada di kawasan industri yang lintas daerah, maka diperlukan koordinasi antar daerah. Misal di jogja pernah terjadi kasus sampah di sungai kali code, maka dengan dipegang oleh Bappeda provinsi, mereka melakukan program kali bersih dari sampah.
Saya rasa masyarakat di sepanjang citarum juga sudah melaporkan hal ini apalagi greenpeace juga sudah ada disana. Tinggal pemimpinnya saja bagaimana, karena aparat pun tidak bisa atau tidak berani bertindak bila pemimpinnya tidak memberikan “dukungan” kepada bawahannya.
Contoh di Jogja, walikota Herry zudianto membuat saluran pengaduan yang namanya UPIK. Program ini tidak dijalankan main-main oleh walikota, pernah teman saya melaporkan kepala dinas yang sangat sulit ditemui untuk wawancara. Dari saluran itu lalu dibalas oleh beliau dan beberapa hari teman saya bisa bertemu dengan kadis tersebut. Ini cara pemimpin yang ingin lebih dekat dengan masyarakatnya, mendengar dan juga benar-benar ditindaklanjuti. Ini sama hal nya dengan kasus kali code tadi, laporan masyarakat mungkin didengar oleh bapak walikota, walikota punya kekuatan untuk bertindak dan memberikan dukungan kepada “jembatan” pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Jadi dimana nih pemimpin daerah yang wilayahnya tercemar di sepanjang sungai citarum ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H