Negara kita selalu tidak luput dari yang namanya bencana alam, karena posisi kita yang berada di wilayah rawan bencana. Dimana menurut Dr Syamsul Maarif MSc bahwa Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng atau kulit bumi aktif, yakni lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara, dan lempeng Pasifik di bagian timur. Penyebab lainnya adalah akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Selain itu, menurut catatan WALHI sekitar 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana yang diantaranya terdapat 175 kabupaten yang masuk dalam wilayah tersebut. Dari hal tersebut sudah hampir diperkirakan bahwa di beberapa wilayah Indonesia akan terkena bencana alam, baik itu yang ringan sampai yang berat. Belum lagi bencana buatan manusia bisa konflik sosial, kecelakaan, dan kriminalitas.
Setiap bencana yang ada biasanya akan menimbulkan trauma. Kata trauma digunakan untuk merujuk pada kekuatan atau peristiwa tertentu, yang menjadi penyebab timbulnya kondisi stres psikologis tersebut. Sedangkan istilah "peristiwa traumatik" untuk menjelaskan peristiwa yang menyebabkan stres traumatik.
Trauma selain dirasakan oleh korban bencana juga bisa dialami oleh mereka yang tidak terkena bencana langsung. Istilahnya adalah trauma sekunder, yang dapat dialami oleh tenaga medis, jurnalis yang meliput, dan pemirsa yang menonton tayangan bencana. Reaksi psikologis yang dialami para trauma sekunder juga sama dengan yang dirasakan oleh korban bencana secara langsung. Beberapa reaksi psikologis dari peristiwa traumatik misalnya sulit tidur, mudah marah atau menangis, sulit berkonsentrasi, hilangnya selera makan, mudah tersinggung, ingatan yang sulit dihilangkan mengenai peristiwa traumatik, dll. Reaksi ini adalah kondisi wajar dan seiring berjalannya waktu serta dukungan orang-orang sekitarnya maka sebagian dari mereka akan kembali seperti semula.
Dimata jurnalis dan korban
Dalam buku saku ini ada beberapa testimoni dari beberapa jurnalis yang meliput kejadian secara langsung dan dari seorang korban bencana. Misalnya testimoni dari Beawiharta, juru foto kantor berita reuters. Ia menceritkan ketika Tsunami menerjang Aceh 2004 lalu. Ia harus mengambil foto ratusan mayat korban tsunami berjajar di pinggiran kompleks ruko. Insting dia mengatakan inilah fotonya, inilah beritanya. Ini yang perlu diketahui oleh semua orang. Namun dalam perasaan dia seperti tak menentu ketika pertama kali melihat hal seperti itu. Bau mayat dimana-mana, banyak sekali pemandangan menyedihkan dan banyak sekali foto mengerikan. Disatu sisi ia bertugas sebagai penyebar informasi disatu sisi ia juga sebagai manusia yang juga punya tingkat psikologis yang rentan.
Setelah pulang bertugas, ia bisa bercanda dengan keluarga namun dalam kesendirian, kesedihan itu muncul kembali. Bila melihat ulang kejadian aceh di televis, lagu-lagu kesedihan maka ia akan perasaan sedih itu kembali lagi. Lalu salah satu caranya untuk menghilangkan rasa tersebut, ia pun kembali ke Aceh. Dengan semangat yang berbeda, Aceh bangkit dalam jepretan fotonya.
Lalu dari sisi korban, bagaimana media cetak selalu mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Hal tersebut membuat korban harus mengingat peristiwa tersebut. Korban Bom kuningan juga menceritakan dalam keadaan yang harus benar-benar ditolong malah beberapa kamera terus merekam. Juga dalam penayangan di televise yang menayangkan adegan korban yang sedang terluka malah di tayangkan secara zoom.
Selain itu para jurnalis juga tidak mempertimbangkan waktu dan tempat saat mewawancarai, disaat korban butuh istirahat, ada jurnalis yang terus mengejar, membujuk bahkan setengah memaksa untuk wawancara.
Juga mengenai tayangan televis yang berulang-ulang mengenai kejadian tersebut sehingga bisa mempengaruhi psikologis korban atau keluarga yang terkena bencana. Bila beritanya valid mungkin tidak terlalu riskan. Misalnya seperti bencana Merapi kemarin yang menginformasikan awan panas sampai Km 6 sehingga membuat kepanikan. Lalu tayangan silet yang mengatakan sebagai kota bencana dan letusannya akan lebih dahsyat dari Tambora.
Walaupun begitu, disatu sisi peran media juga sangat penting dalam mengabarkan. Tentu mengabarkannya sesuai dengan kode etik jurnalis dan undang-undang pers.
Misal saja dapat menggalang rasa solidaritas ketika ada kejadian yang luar biasa, mengetahui keadaan yang luar biasa yang jauh dari jangkauan pemirsa, juga bisa menjadi sarana edukasi dan media kampanye pada isu-isu penting yang perlu masyarakat ketahui misalnya dalam kebencanaan.