Banyak sekali kritik terhadap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah wajar, bila dilihat dari berbagai aspek. Tetapi harus kita akui, standarisasi pendidikan di Indonesia, semakin maju bila dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Namun, kemajuan tersebut tidak se-ideal harapan pembangunan pendidikan jangka panjang di negara kita.
Mengapa demikian, sebab kita tidak memiliki dokumen perbandingan standarisasi pendidikan di masa awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kondisi pendidikan terkini kita. Juga, kita tidak pernah mengukur hubungan antara kuantitas pendidikan dengan kualitas serta produk (efektifitas dan efesiensi) sistem pendidikan di negara ini.
Kementerian Pendidikan Nasional, dahulu bernama Departemen Pengajaran (1945-1948) berganti nama menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948-1999), kemudian menjadi Departemen Pendidikan Nasional (1999-2009) disingkat Depdiknas. Setiap pergantian rezim ke rezim lainnya, dipastikan telah terjadi perubahan mendasar pada sistim pendidikan kita.
Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pengajaran sejak 19 Agustus 1945 sampai 14 November 1945. Di masa menteri Ali Sastroamidjojo dalam kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947) serta Kabinet Hatta I (29 Januari 1948- 4 Agustus 1949) terjadi perubahan nama dari Menteri Pengajaran menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya di masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956) dengan menteri R.M. Suwandi, nama kementerian kembali berubah menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957) nama menteri dikembalikan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat Sarino Mangunpranoto.
Di masa Kabinet Djuanda (9 April 1957) hingga Kabinet Dwikora I (28 Maret 1966) Priyono menjabat sebagai menteri, terjadi perubahan nama dua kali, Menteri Muda Pendidikan dan Kebudayaan berganti lagi menjadi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Penggunaan nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan digantikan oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam Kabinet Reformasi Pembangunan (23 Mei 1998 - 20 Oktober 1999) di masa rezim Orde Baru, dikomandoi oleh Juwono Soedarsono.
Dari rezim Orde Lama dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai menteri pertama yang mengurusi pendidikan hingga Muhammad Nuh di masa pemerintahan SBY, kementerian pendidikan telah dijabat 28 menteri yang mengemban tugas utama memimpin perbaikan di bidang pendidikan.
Dari perubahan nama departemen saja, Kementerian Pendidikan Nasional telah berubah-ubah. Bagaimana dengan sistim penilaian sejak dijabat Ki Hadjar Dewantara, apakah kita masih memiliki data tentang standarisasi penilaian mulai dari jumlah peserta ujian, nama mata pelajaran, mutu, kurikulum, pendanaan dan yang lainnya.
Andaikata kita mengabaikan perubahan nama kementerian. Dari tiga presiden terakhir saja, nama ujian telah berubah beberapa kali. Ujian Nasional(UN), Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dengan Nilai EBTANAS Murni (NEM). Ada juga EBTA, Ujian Akhir Sekolah (UAS). Penggunaan nama yang berubah-ubah menunjukkan terjadi perubahan pula atas formula yang dipakai.
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) Sistem ini mulai diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto pada 1985, di jaman pemerintahan Soeharto. EBTANAS saat itu apakah produktif? Berapa Mata pelajarannya, standarisasi nilai ujian, kuantitas dan kualitas kelulusan, berapa persen yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, kemudian berapa persen yang terdistribusi untuk bekerja, di bidang apa saja. Saya yakin kita tidak memiliki data/dokumen resmi tentang hal tersebut, utamanya dibandingkan dengan sistim pelaksanaan ujian di masa sebelumnya.
Muhammad Nuh mengatakan, Ujian Nasional 2011 menggunakan formulasi baru dengan mengkombinasikan nilai ujian nasional dan prestasi sekolah. Nilai UN bukan satu-satunya penentu kelulusan, nilai UN hanya menyumbang 60 persen dari nilai keseluruhan. Sementara 40 persen nilai lagi disumbang dari nilai raport selama lima semester dan nilai ujian sekolah. Nilai setiap mata pelajaran minimum 4,00. Bagi siswa yang tidak lulus UN dapat mengikuti ujian Paket C untuk tingkat SMU dan SMK serta Paket B untuk tingkat SMP, sebab tidak diadakan lagi UN ulang.
Muhammad Nuh juga mengatakan, berdasarkan hasil monitoring berita selama tahun 2010, UN menempati urutan pertama dari 10 isu pemberitaan pendidikan 2010. Pemberitaan terkait UN sebanyak 1.899 (20,1 persen), disusul soal guru sebanyak 974 berita (10,3 persen), dan penerimaan peserta didik baru 537 berita (5,7 persen).
Idealkah formula yang dikemukakan Mendiknas kita. Baiklah bila sudah ideal. Tetapi apakah kita menjamin formula ini tidak akan diganti lagi oleh rezim lain yang akan menggantikan Muhammad Nuh apabila Susilo Bambang Yudhoyono berakhir masa jabatannya?
- ·Dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H