Pada sesi ini, Mas Ivan menyampaikan dengan cukup rinci beberapa aturan yang tertuang dalam Pendoman Umum Ejaaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Satu hal penting lainnya, buku sebagai alat literasi dewasa ini juga memiliki peranan yang sangat massif terhadap bagaimana budaya penggunaan kaidah berbahasa yang baik lahir. Maka sudah barang tentu, tanggung jawab editor tidak hanya sekadar bagaimana pesan ini tersampaikan.Â
Penggantian aturan bahasa dari Ejaan Van Opuijsen yang khas dengan ‘oe’-nya, menuju Ejaan Republik/Soewandi, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), hingga PUEBI adalah bentuk tantangan lain yang harus editor alami. Mengingat sistem pembaharuan kaidah yang otomatis dilakukan setiap 6 bulan sekali. Bayangkan betapa repotnya mereka. Misalnya kemunculan kata kinan sebagai antonim dari kidal baru-baru ini.
Profesor Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan Indonesia seringkali membahas permasalahan kecelakaan ini, namun solusi dan pembaharuan kaidah ternyata belum juga dapat mengatasinya.Â
Indonesia yang terdiri dari 270 juta masyarakatnya dengan ini haruslah mengetahui bahasanya sendiri. Penulis hanya ingin menekankan ‘janganlah kita sampai lengah’ hingga terpaksa dikuasai asing karena tidak mengenali bahasa kita sendiri.
Sebab jika sebilah pedang dapat membunuh satu orang atau beberapa orang saja, bahasa adalah senjata yang paling murah dalam konteks materialistik dan ampuh bagi orang-orang yang cerdas.
Salah satu rumusan Mas Ivan dalam sesi terakhirnya ialah peluncuran Kamus Medan Makna. Ini sebagai acuan untuk menafsirkan, bagaimana satu kata yang memiliki makna tertentu bisa digunakan dalam waktu tertentu secara berdasar. Seperti penggunaan kata iri untuk sesuatu yang belum dimiliki dan cemburu untuk sesuatu yang sudah dimiliki.
Himbauan ini bukan yang satu-satunya, ada banyak cara lain untuk menumbuhkan budaya berbahasa secara baik di kalangan masyarakat. Diantaranya ialah membiasakan anak-anak sedari kecil untuk membaca buku-buku cerita.Â
Novel-novel terjemahan yang memenangkan hadiah nobel, seperti karya Albert Camus dan Andrea Hirata untuk dewasa, dan mulai menjalankan peran sebagai ‘Polisi Bahasa’ minimal untuk karya tulis kita sendiri.
Terakhir, adapun usaha ini dilakukan tidaklah dengan cara-cara yang ekstrem. Perbaikilah dengan cara yang mudah dan dapat diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia mengingat segala stigma yang hadir tentang generasi millenial saat ini.Â
Supaya fenomena yang dialami Presiden kita kemarin juga membuat kita belajar tanpa bermaksud  menyudutkan pihak manapun. Meski nilai dari bahasa akan berbeda jika disampaikan oleh orang yang berbeda, setidaknya kita sebagai masyarakat memiliki dasar yang valid dari kritik yang kita ajukan pada siapapun.