Judul di atas barangkali terkesan hiperbolis. Kemelut. Seolah-olah akan dan sedang terjadi kemelut, sesuatu yang genting, kritis, dan berbahaya, dalam sebuah hubungan. Dalam hal ini, hubungan dua negara serumpun: Indonesia-Malaysia. Memang, kedua negara terlihat tampak tenang dan biasa-biasa saja. Bahkan, beberapa pekan lalu Presiden Jokowi masih mengirimkan salam---mengucapkan selamat---kepada perdana menteri Malaysia yang baru. Hal itu memperlihatkan bahwa hubungan politik-diplomatik kita, baik ditinjau dalam hubungan bilateral, atau sesama negara di kawasan Asia Tenggara, masih baik. Tentu, apa yang kita lihat hari-hari ini begitu bertolak belakang dengan konflik kedua negara pada masa lampau, khususnya pada era Soekarno. "Ganyang Malaysia". Menjadi ungkapan sekaligus umpatan yang lazim saat itu.
Namun, peristiwa sejarah tidak berhenti pada masa lalu. Ia terus merangsek masuk; mengganggu masa depan. Ia terkait dengan masa kini. Bahwa sejarah merupakan sumber belajar agar hal-hal buruk tidak terjadi dan dapat diantisipasi adalah konsekuensi mutlak atas hal itu. Persoalannya, apakah setelah Orde Lama, kita lepas dari konflik dengan Malaysia? Tentu saja, tidak. Ganyang Malaysia terus ada. Namun, kini beralih rupa. Perjalanan waktu sedikit banyak telah mengubah rupa konflik. Bukan lagi perang secara fisik, melainkan perang secara ideologis. Wujudnya adalah sentimen negatif. Sentimen ini tidak hanya terjadi pada ranah nyata, melainkan juga ranah maya. Perkembangan media telah memfasilitasi sentimen negatif secara radikal dan signifikan. Tanpa bertatap muka dan berhadapan secara fisik, sentimen negatif dapat diproduksi dan direproduksi begitu saja. Kapan pun dan di mana pun.
Sentimen negatif, dalam konteks media, diekspresikan secara verbal. Sederhananya, sentimen ini dikemukakan dalam bentuk satuan-satuan kebahasaan, baik kata, frasa, maupun, terutama, kalimat. Di mana sentimen itu bisa ditemukan? Media sosial, terutama twitter. Ada hubungan timbal balik dan mutualistik antara sentimen negatif dan media. Bagaimana pun, sentimen membutuhkan media sebagai tempat bernaungnya. Artinya, sentimen itu bersifat dependen---bergantung pada media. Dalam hal ini, twitter menjadi ruang yang tepat. Kalau kita membuka dan bermain twitter, sadar atau tidak, kita bisa menemukan karakteristik media sosial berlambang burung biru ini. Apa itu? Twitter lebih mengutamakan kata-kata. Pengguna twitter mengutarakan pikirannya dengan kata-kata. Benar bahwa pengguna bisa mengunggah gambar sebagai pelengkap. Namun, sifatnya opsional. Ini berbeda dengan, misalnya, instagram yang mengharuskan pengguna mengunggah gambar.
Fitur lain yang melekat pada twitter adalah tagar. Demikian pula, sentimen negatif diekspresikan dengan tagar. Tagar inilah yang membuat sentimen itu menyebar karena sifat tagar yang distribusional. Ia bisa dilacak oleh tagar sejenis. Kalau kita menelusuri twitter, kita akan menemukan begitu banyak tagar-tagar yang menggunakan kata-kata, seperti indonesial, indon, ganyang malaysia, malingsial, dan lain sebagainya. Hal itu menyiratkan pula bahwa sentimen tidak disulut dan diakomodasi oleh satu pihak saja, melainkan juga oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, sentimen negatif terjalin dalam hubungan resiprokatif atau timbal balik. Akan tetapi, persoalannya, kemudian, mengapa media menjadi ruang yang dipilih untuk menghidupkan sentimen ini?
Media bukanlah wacana hampa. Ia bukan sekadar ruang maya, tempat kita mengunggah foto, video, atau sekadar takarir. Justru ketika kita mengunggah sesuatu itulah kita memasuki ruang ideologis. Ketika konflik fisik secara terbuka tidak bisa, bahkan mustahil dilakukan, media menjanjikan ketidakmustahilan itu. Dengan media konflik bisa terjadi, bahkan dengan intensitas yang, barangkali, lebih tajam, signifikan, bahkan berkepanjangan. Memang, konflik pada media sosial tidak pernah lepas konteks dengan dunia nyata. Namun, konflik pada media ini memiliki "umur" yang lebih panjang karena ia memperpanjang konflik yang terjadi di dunia nyata. Konfrontasi Indonesia-Malaysia, misalnya, pernah dan sudah terjadi pada masa Orde Lama di bawah komando Soekarno.
Konflik itu sudah tidak lagi berumur. Namun, "arwah"nya masih terus menggentayangi konflik-konflik hari-hari ini. Arwah tersebut mengisi tubuh konflik saat ini. Tentu, media bukanlah aktor tunggal di balik kelangsungan sentimen negatif. Ada banyak faktor yang bisa dibongkar, diulik, dan ditelusuri lebih lanjut, lebih dalam lagi, untuk menyingkap sentimen negatif ini. Namun, tanpa media, sentimen itu tidak akan pernah termediasi. Kita bisa membuat peristiwa imajiner. Seandainya, seorang Indonesia dan seorang Malaysia bertemu. Mereka terlibat konflik karena satu dua hal. Orang Malaysia mengatakan, "Indon!". Lantas, orang Indonesia mengatakan, "Dasar Malingsial!". Sentimen itu mungkin akan berhenti pada ruang dan waktu ketika keduanya bertemu. Ketika mereka berpisah, barangkali peristiwa itu sudah terlupakan begitu saja. Belum tentu orang lain mengetahuinya.
Hal ini berbeda dalam konteks media. Meskipun masyarakat tidak terlibat secara langsung, mereka dapat mengetahui keberlangsungan sentimen tersebut, bahkan terlibat di dalamnya secara aktif. Aktif sebagai pelaku sentimen negatif. Satu kalimat, bahkan sekadar satu kata, bisa melampaui ruang dan waktu. Sentimen yang dituturkan saat ini akan diketahui dan terus menyebar hingga hari-hari nanti, yang kita pun juga tidak tahu kapan ia akan berhenti. Ia bisa ditelusuri dari dan di mana saja. Di sinilah kekuatan media dan bagaimana media turut menguatkan sentimen negatif itu untuk terus diproduksi dan direproduksi.
*Tulisan populer ini merupakan keluaran tambahan sebagai bagian dari penelitian riset sosial humaniora dalam skema pendanaan PKM-RSH oleh Direktorat Belmawa, Kemendikbudristek RI 2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H