Mohon tunggu...
Wahyu Nurdiyanto
Wahyu Nurdiyanto Mohon Tunggu... Lainnya - orang baik baik

nothing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasi Anjing Itu Tidak Sama dengan Nasi Kucing, Njing!

27 April 2020   12:42 Diperbarui: 27 April 2020   12:41 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di kampung saya di Solo, anjing sudah menjadi sabahat manusia sejak dulu. Asu alias anjing tidak hanya digunakan untuk menjaga rumah, teman berburu, kawan untuk dielus-elus seperti kucing, tapi juga jadi teman bagi perut. Alias untuk lawuh makan.

Berdasarkan yang saya baca (dari internet tentunya, dari buku belum nemu), kuliner daging anjing sudah ada sejak tahun 1940an. Bahkan mungkin lebih lama lagi. Entah dulu dimasak seperti apa, apa sama seperti saat ini, sate jamu, rica-rica, tongseng atau menu lainnya.

Banyak kawan saya di Solo rutin maka sate jamu. Alasannya beragam. Ada yag bilang bikin energi melimpah, sekadar nyari makan enak dan semacam alasan kalau saya kangen makan sate kambing solo, lalu rela menyishkan uang lebih untuk pergi ke warung sate pak Kumis di dekat Petoran. Intinya ya buat menyenangkan perut.

Balik lagi ke nasi anjing yang lagi ramai di dunia maya. Kata anjing menjadi masalah karena ditambahkan setelah kata nasi.

"Ini jan...nemen," kata seorang kawan yang asli Surabaya. "Bisa-bisanya nasi yang bagus dengan tujuan mulia ditambahi anjing. Mbok ya perasaan yang buat nasi anjing ini," ucapnya.

Lah apa bedanya dengan nasi kucing (yang kebetulan juga populer di Solo dan Yogyakarta). Kan hanya nama? Nasi kucing juga ga mengandung kucing di dalamnya? Jawaban kawan menjadi panjang kali lebar kali tinggi. Duowoo, koyok kali bengawan solo.

Sabahat saya yang lain nyaut. Menurutnya, kita ini terlalu membesar-besarkan masalah kecil. Energi terkuras hanya untuk ngurusi printilan kayak gini. Sama halnya saat semua orang menjadi pakar dengan membedah perbedaan "mudik" dan "pulang kampung" yang diucapkan Presiden Jokowi. Padahal intinya sama, jangan pulang ke rumah saat lebaran tahun ini karena ada wabah corona.

Nasi anjing adalah bentuk kreativitas, sama halnya dengan menyebut nasi kucing. Atau menyebut warung angkringan atau HIK sebagai kafe tiga ceret, karena umumnya memakai tiga ceret (ketel air) untuk memanaskan air.  Ini seperti anak zaman sekarang omong ke temannya yang kerap dengan imbuhan anjing di belakangnya. Dan tidak ada yang marah. woles saja. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun