[caption id="" align="alignleft" width="360" caption="JOKOWI MANIFESTASI PILATUS DEWASA INI"][/caption] “Salibkan dia! Salibkan dia!” Suara riuh rendah itu berasal dari kerumunan orang Yahudi di hadapan Pontius Pilatus, Gubernur Kerajaan Romawi untuk Provinsi Yudea. Mereka berhasil dihasut untuk memaksa wakil Kaisar Roma itu menghukum mati Yesus, anak tukang kayu dari Nazareth. Yesus dituduh, atau lebih tepatnya difitnah, oleh pemuka-pemuka agama Yahudi dengan alasan telah melanggar aturan-aturan yang ditetapkan dalam Taurat. Ia difitnah telah mengklaim diri sebagai “Anak Allah”, menyembuhkan orang sakit di hari Sabat, serta mengklaim akan merubuhkan “bait Allah” dan akan mendirikannya lagi dalam waktu tiga hari. Tuduhan ini cukup untuk membawa Yesus ke tiang salib. Bisa dipastikan, tak banyak dari kerumunan orang Yahudi saat itu yang paham apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka teriakkan. Kebanyakan dari mereka adalah masa hasutan orang-orang yang berkepentingan membunuh Yesus. Adalah Imam besar Hanas dan Khayafas yang merupakan dalang di balik semua aksi hari itu. Seluruh rakyat diprovokasi untuk satu suara: “Salibkan dia”! Perihal Kekuasaan Pilatus dan Jokowi Hal ikhwal Pilatus, dalam skenario hukuman mati terhadap Yesus, bisa kita simak secara menyeluruh di dalam kisah sengsara-Nya yang ditulis para penginjil. Inti sari yang bisa dipetik dari kisah itu adalah bahwa Pilatus sebagai Gubernur Yudea tidak ingin terancam jabatan politisnya gara-gara mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan rakyat banyak. Selain itu, hukuman mati atas Yesus sesungguhnya terjadi akibat ketidaktegasan Pilatus dalam menegakkan keadilan. Proses hukuman mati terhadap Yesus, menurut Injil, merupakan hasil rekayasa imam-imam besar Yahudi. Yang menarik justru, pengadilan agama Yahudi tidak mau mengeksekusi Yesus karena mereka tidak ingin tangan mereka bersimbah darah orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, mereka membawa Yesus kepada Herodes dan Pilatus selaku penguasa politik saat itu. Pilatus pun sebenarnya sama-sama tidak menemukan kesalahan pada Yesus. Namun, dia bukanlah orang bodoh yang tidak paham hukum serta posisi politisnya. Dia tidak menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. “Sahabat Kaisar” itu mengembalikan Yesus kepada orang-orang Yahudi agar merekalah yang menghukum mati orang Nazareth itu. Pilatus “cuci tangan”. Kisah sengsara itu berakhir dengan kematian Yesus di kayu salib dan orang Yahudi menganggap bahwa Pilatus telah merestuinya. Beberapa minggu lalu, dunia mengecam eksekusi mati enam terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan. Keenam orang tersebut dihukum mati karena terbukti mengedarkan barang haram itu. Sama seperti Pilatus, Jokowi berada di balik peristiwa ini. Dengan menolak grasi (ampunan yang diberikan kepala negara kepada terpidana), Jokowi merestui kematian mereka. Padahal dia memiliki kuasa untuk menyelamatkan keenam tersangka tersebut dari eksekusi mati. Banyak dukungan yang mengalir ke istana pasca eksekusi dilakukan, walaupun tidak sedikit juga yang mempersoalkan pelaksanaan hukuman mati tersebut. Mereka yang mendukung eksekusi mati keenam terpidana itu menilai eksekusi mati harus dilakukan demi menyelamatkan jutaan generasi muda di kemudian hari dari jerat narkoba. Tuntutan kepada Pilatus untuk menghukum mati Yesus kini seakan terulang kembali. Demi kepentingan banyak orang, demi manfaat bagi banyak orang, nyawa keenam orang tersangka dikorbankan. Tentu ada perbedaan antara kematian Yesus dan enam orang terpidana narkoba tersebut. Yesus dipandang sebagai “pemberontak” karena ajaran-ajaran-Nya yang dianggap tidak sesuai dengan Kitab Taurat. Meskipun anggapan itu tidak terbukti secara hukum, Yesus akhirnya disalibkan demi keinginan ribuan orang Yahudi. Pilatus saat itu hanyut di dalam desakan orang banyak. Sedangkan, keenam terpidana kasus narkoba di atas dihukum mati karena memang terbukti melanggar hukum. Nyaris tidak ada masalah dan kekeliruan dengan menghukum mati keenam orang itu. Menurut hukum, mereka sudah sah untuk dieksekusi mati, dan di atas segalanya, permohonan ampun mereka pun telah ditolak oleh Jokowi. Lalu, apalagi yang harus dipersoalkan? Mari kita sedikit jeli melihat kasus ini. Etika Utilitarian Ketika hukum digunakan sebagai panglima untuk menegakkan keadilan, yang nampak ke permukaan adalah kepastian dan kemanfaatan dari realisasinya. Manfaat dari menghukum mati terpidana narkoba adalah efek jera bagi mereka yang hendak mengedarkan narkoba di negeri ini. Secara utilitarian (Jeremy Bentham dan John Stuart Mill), tindakan mengeksekusi mati keenam terpidana itu sah karena menghasilkan the greatest good for the greatest number. Pasca eksekusi mati, Jokowi boleh duduk-duduk menikmati udara segar sambil menyeruput kopi di serambi belakang istana. Tidak ada masalah. Secara hukum tindakan presiden sah dan secara moral utilitarian benar. Namun Jokowi akan gigit jari ketika kita meneropong kasus itu dari perspektif etika deontologis. Immanuel Kant adalah orang yang memperkenalkan filsafat moral ini (etika deantologis) kepada kita. Menurut dia, betul salahnya suatu sikap atau tindakan tidak tergantung dari akibat yang ditimbulkan, melainkan sesuai atau tidaknya dengan norma/hukum moral. Sebagai contoh, kita tidak boleh mencuri, sekalipun bagi kita tindakan itu perlu dilakukan. “Tidak boleh mencuri” adalah hal yang harus dilakukan kapan pun dan di mana pun (imperatif kategoris). Alasannya, mencuri itu tidak baik pada dirinya sendiri. Dalam kasus hukuman mati tadi, etika deontologis mesti masuk dalam pertimbangan moral Jokowi sewaktu dia menerima surat permohonan ampun (grasi). Grasi yang disodorkan itu menuntut sebuah pertimbangan moral-rasional yang melampui hukum positif, yang telah dilewati prosesnya. Pertimbangan moralnya adalah “manusia tidak boleh dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi tujuan lain karena manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri”. Para terpidana yang dieksekusi mati dijadikan sebagai sarana untuk tujuan menjerakan para pengedar narkoba di Indonesia di kemudian hari. Jokowi mempertuhankan diri? Saya yakin, Presiden Jokowi tidak kenal dan meyakini filsafat moral Immanuel Kant. Andai kenal dan meyakini paham moral Kant ini, Jokowi pasti mengabulkan permohonan grasi para terpidana mati itu ketika ia “berhadapan” dan karenanya tersandera oleh wajah mereka, yang dalam diam mengungkapkan sebuah ekspresi etis “tolong jangan bunuh saya”. Wajah (manusia) dalam kepercayaan agama-agama monoteis Abrahamik merupakan manifestasi dari wajah sang Pencipta sendiri (imago Dei) yang menuntut kita untuk tidak membunuhnya dengan alasan apapun. Hanya Sang Empunya kehidupan yang berhak mencabut nyawa manusia. Dari perspektif moral agama, melaksanakan eksekusi mati adalah dosa karena mengambil kewenangan Tuhan untuk mengakhiri hidup manusia. Dengan demikian, dengan menyetujui eksekusi mati bagi terpidana narkoba, Jokowi sedang mempertuhankan dirinya dan menyamakan kekuasaannya dengan kekuasaan Tuhan terkait nyawa orang lain. Dengan mengeksekusi mati keenam terpidana tersebut, Presiden Jokowi dan para pendukung eksekusi mati berharap bahwa bahaya narkoba akan hilang dari bumi Nusantara ini. Namanya juga harapan, bisa terkabul, bisa juga tidak. Dengan mengeksekusi mati para terpidana itu, Jokowi sedang menabuh genderang perang melawan pelbagai macam aksi terkait pengedaran narkoba. Ini pesan serius. Artinya, seluruh hipotesis efek jera pascaeksekusi itu akan sia-sia ketika masih ada kasus peredaran narkoba di negeri ini. Asas kemanfaatan dari hukum itu tergoyahkan. Dan, kematian mereka sekedar menjadi topeng untuk menutupi kegagalan negara yang tidak mampu melindungi segenap rakyat dari bahaya narkoba. Negara seharusnya berkewajiban memastikan barang haram itu tidak masuk ke dalam negeri. Jika benar kematian mereka sia-sia, Jokowi tidak hanya melumuri tangannya dengan darah para terpidana, tetapi juga sedang membuat kubangan berdarah bagi jutaan nyawa generasi muda Indonesia. Kesamaan Pilatus dan Jokowi Ada dua kesamaan antara Pilatus dan Jokowi yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan.Pertama, keduanya sama-sama pemegang tampuk kekuasaan. Jokowi Presiden RI, Pilatus Gubernur Kekaisaran Romawi di Yudea. Pilatus sebenarnya bisa membebaskan Yesus dari hukuman mati, tapi toh dia tidak melakukannya. Jokowi bisa menggunakan hak prerogatifnya untuk tidak menghukum mati keenam terpidana kasus narkoba dengan mengabulkan permohonan grasi mereka, tapi sayangnya Jokowi juga tidak melakukan hal itu. Kedua, tindakan Pilatus yang “membiarkan” Yesus dihukum mati dan keputusan Jokowi yang merestui eksekusi mati sama-sama bersifat utilitarian. Keduanya sama-sama memperhitungkan soal the greatest good (happiness) for the greatest number. Dengan kata lain, keduanya sama-sama menjadikan manusia sebagai alat atau sarana bagi tujuan lain. Sebelum kematiannya, Yesus hanya berpesan agar kita mengasihi sesama sama seperti kita mengasihi Tuhan. Mencabut nyawa orang lain bukanlah sebuah tindakan yang mencerminkan cinta kasih. Cukuplah kita mengasihi orang lain dengan tidak membunuhnya. Ihwal tindakan yang sudah Jokowi lakukan, itu pasti merupakan urusan politik (yang mengabaikan moral) dan tidak patut untuk ditiru. See this: http://www.notanostra.com/jokowi-manifestasi-pilatus-dewasa-ini/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H