Mohon tunggu...
Norpikriadi
Norpikriadi Mohon Tunggu... Guru - Penulis lepas

Hanya seorang yang terus mencari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pena Kebenaran adalah Pedang Kesepian

8 Juni 2022   22:49 Diperbarui: 10 Juni 2022   15:39 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang penulis profesional tentu punya trik khusus dalam me-marketing hasil karyanya. Ini penting untuk memancing minat baca banyak orang, atau dalam pengertian digitalnya: untuk memicu "bom viewer" yang berbuah adsense sebagai target. Trik itu semisal memilih tema yang disesuaikan dengan trending topik, aktif mempromosikannya lewat media sosial, atau trik lainnya. Saya tak punya kapasitas semacam itu. Sebagai penulis amatiran, saya kali ini cuma ingin mengulas konsekuensi sikap yang kita pilih di dalam menulis. 

Saat meniti sejuk atau pengapnya hari-hari, kita tentu sudah biasa menemui polemik akan suatu isu, di mana ada dua--atau lebih--arus pemikiran yang berbenturan. Dalam rangka memperjuangkan kebenaran, ada kalanya kita harus berpihak pada salah satu kubu. Hal ini bukan berarti kita secara mutlak meyakini kebenaran ada pada mereka. Tiap kubu atau kelompok sejatinya punya kadar kebenaran dan kadar kesalahan masing-masing. Sebab itulah para pencari kebenaran komitmennya pada nilai, bukan pada kelompok. Hanya memang, apabila nilai kebenaran di satu tempat begitu rapuh, maka daya kritis perlu disuarakan terhadapnya. Sekali dua saya menempuh jalan ini, dan bagi sebagian kawan "pena saya" di situasi itu tampak begitu subyektif, dan cenderung menghakimi. Bisa jadi pula di mata mereka saya terkesan telah menjadi "corong" kelompok tertentu, karena arah pena begitu jelas. Apa boleh buat jika terbaca demikian. Yang penting sedari semula ia diniatkan sebagai wujud komitmen pada nilai tadi, bahwa kebenaran jangan pernah dibiarkan terdistorsi.

Jadi, ketika ujung pena mengarah ke satu sudut, maka otomatis pangkalnya akan dianggap berpijak di sudut lain. Di tengah proses polemik antar kubu, posisi ini sesungguhnya relatif aman. Sebab, potensi haters dan lovers sudah terpetakan dengan jelas. Setidaknya separoh publik akan berada di "titik kebenaran" yang kita suarakan.

Akan lain halnya apabila kita adalah "Kesatria Pena" yang secara idealis mendamparkan diri persis di tengah-tengah, karena meyakini kebenaran ada di sana. Terlebih lagi jika itu tema sensitif menyangkut isu agama yang kebetulan tengah menyita perhatian publik. Maka diperlukan keberanian, keikhlasan, dan kehati-hatian tingkat dewa. Menulis dengan pendekatan netral, terkadang bak melangkah di tepi jurang. Alih-alih menuai simpati kedua kubu, pemikiran netral dalam konteks ini bisa-bisa mengundang haters dari semua sisi. 

Ketika seorang penulis adalah muslim misalnya. Maka pemikirannya yang netral tadi akan dipahami sebagai sebuah otokritik bagi saudara-saudara seimannya. Sekalipun ia bertolak dari dalil-dalil agama untuk mengkritisi ekspresi keagamaan tertentu, namun adalah fakta tidak semua orang siap dan logis dalam meresponnya. Penulisnya bisa dengan mudah akan dipandang sebagai sang liyan di tengah fanatisme beragama yang meluap-luap. Kondisi ini diperparah oleh laju era teknologi digital yang tak diimbangi oleh kedewasaan para penggunanya. Jangankan otak, lidah pun seringkali kalah cepat ketimbang jari dalam men-judge seseorang sebagai kafir, astagfirullah.

Untuk mengantisipasi hal itu maka tidak bisa tidak, akurasi data dan kebijakan diksi menjadi keharusan dalam membangun narasi, dan berargumentasi. Tujuannya jelas agar tulisan tersebut tidak secara serampangan ditafsir sebagai bentuk provokasi atau pelecehan agama. Nah, itu baru di satu sisi. Sementara di sisi lain, jangan kaget jika ada yang langsung skip bila menemukan judul (baru judul lho) atau tema yang ada kata Islam, Muslim, atau apapun yang berbau itu. Ini tentu saja menyangkut kubu lain yang menyimpan sentimen tertentu, yang dalam banyak hal dipersepsikan sebagai kelompok islamophobia. 

Adalah ironi, bahwa dalam banyak kasus, kedua kelompok di dua titik ekstrim berbeda itu ternyata memiliki kemiripan. Mereka biasanya punya stereotipe-stereotipe tertentu dalam melihat pihak lain. Inilah yang menyebabkan mereka seringkali cuma tiba di bungkus, dan enggan menyelam dalam ke bumi esensi.

Kebenaran dalam situasi itu lalu menjadi target saling klaim, dan pada akhirnya bersifat relatif. Lalu di manakah kebenaran sejati berada? Di sinilah para "Ksatria Pena" harus memainkan peran untuk menemukannya. Lewat kata-kata yang dituliskan. Lewat bangunan makna yang dibisikkan. Lewat niat ikhlas dan ikhtiar yang tak dipamrihkan.

Mungkin tak selalu mengundang tepuk sorak. Mungkin memang harus menempuh jalan sunyi. Tak jadi soal, karena pena yang digoreskan demi kebenaran seibarat pedang ksatria yang kesepian.

*Tentang Penulis: https://norpikriadi.wordpress.com/perihal/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun