Mohon tunggu...
Norman Yudha Setiawan
Norman Yudha Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan sastrawan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sastra Itu Mewah

26 Januari 2016   00:32 Diperbarui: 26 Januari 2016   00:42 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Norman Yudha Setiawan

Sastra Indonesia sedang naik daun. Dalam ajang Frankfurt Book Fair tahun 2015 ini, Indonesia menjadi tamu kehormatan. Acara yang dilangsungkan dengan tema “17.000 Island of Imagination” tersebut berakhir dengan sukses. Dunia kini ingin mengenal serta mendalami dan mempelajari sastra Indonesia.

Kita perlu berbangga akan hal tersebut mengingat bahwa sastra kita, serta beberapa kesenian lainnya sempat mengalami kematian. Lembaga Kebudayaan Rakyat, atau yang biasa disebut Lekra, setelah sempat mencapai masa keemasannya, kemudian harus terpaksa tunduk ke dalam tangan Orde Baru. Kedekatan Lekra dengan PKI memang tidak bisa dilepaskan. Njoto, yang merupakan salah satu pendirinya, adalah seorang kiri.

Menurut Hesri Setiawan, Sekretaris Pimpinan Daerah Lekra Jawa Tengah, sebagaimana dikutip dari Seri Buku Tempo yang berjudul Lekra dan Geger 1965, dinyatakan bahwa pembentukan Lekra tidak bisa dilepaskan dari situasi politik Tanah Air kala itu. “Jadi pembentukan Lekra bertujuan untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada negeri penjajah,” ujar Hesri, pertengahan September 2013. Melihat hal tersebut, jelas sekali bahwa Lekra mengetahui bahwa seni dapat ikut ambil bagian dalam dunia politik dan perjuangan.

​Sebagaimana juga dalam Koran Kompas tertanggal 26 Desember 2015, terdapat sebuah artikel dengan tajuk “Patriotisme Tumbuh Lewat Puisi” yang kemudian menjadi alasan saya menulis kali ini. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa, “Patriotisme dan cinta tanah air sangat ampuh ditumbuhkan melalui puisi dan lagu. Semangat itu mudah dijumpai pada puisi-puisi jaman dulu, bahkan jauh sebelum era Balai Pustaka. Namun puisi masa kini justru dinilai kurang penting, termasuk dalam kurikulum sekolah.”

Padahal kenyataannya, seni Indonesia, terutama sastra, sedang berkembang. Beberapa tahun yang belakang, kita hanya mengenal sosok Chairil Anwar, W.S Rendra, Pramoedya Anantra Toer, Seno Gumira Ajidarma, dan lain sebagainya. Saat ini, mudah ditemui para penulis yang lebih ‘segar’ dan belum terlalu banyak kerutan di wajahnya yakni, Dewi Lestari, Laksmi Pamuntjak, Ayu Utami, Agus Noor, Andrea Hirata, dan juga rekan-rekan penulis lainnya yang masih dapat berkorespondensi dengan kita serta dimintai tanda tangan ketika merilis buku terbarunya.

Sayangnya, kemajuan itu tidak lantas dimaknai secara baik. Sastra, dalam bentuknya sebagai puisi, sajak dan kutipan-kutipan dari kata-kata yang indah, tidak juga menjadikan seni sebagai barang yang mewah. Mewah dalam hal ini bukan berarti seni tidak dapat dinikmati oleh semua orang, tapi seni haruslah hadir dalam bentuknya yang sublim. Walaupun dengan bentuk seperti itu, ia tidak berarti sulit untuk digapai. Tapi juga tentu saja ia tidak mudah untuk ditemui karena ia tetap butuh perjuangan serta penghayatan yang lebih dari sekedar ide-ide sesaat. Sastrawan Budi Darma, dalam salah satu di artikel di Kompas[1] beranggapan bahwa :

Pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Hanya dengan cara begitu, karya-karya yang baik dan menukik bisa lahir. Karya-karya yang kini bertaburan di media, akibat kemudahan teknologi, hanyalah serpih-serpih yang segera akan dilupakan. Sastra digital harusnya menjadi pendorong tingkat literasi di Tanah Air. Tetapi karena sifatnya yang cepat dan instan, sastra jenis ini mudah hilang. Walau ia tetap mengakui bahwa dunia sastra dan filsafat adalah dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius.

Lebih lanjut, Arthur Schopenhauer, seorang filsuf Jerman mengatakan: “sastrawan itu seperti manusia pada umumnya: semua yang menggerakan hati seseorang, yang dalam suatu situasi dapat muncul dari alam kemanusiaan, yang berdiam dan mengeram dalam diri seseorang – semua menjadi tema serta pokok karyanya.”[2] Maka, tidaklah mudah untuk menemukan tema serta pokok bahasan seperti itu. Ada baiknya bahwa sebagai seorang sastrawan, terlebih bagi media-media yang mencatut sastra sebagai bagian dedikasinya, perlu untuk lebih sering melihat dunia dan sekaligus menarik diri dari dunia. Hanya dengan menjadi tidak sama dengan dunia, sekaligus sama dengan dunia, maka kita dapat menemukan kebeneran yang eksistensial, yang kemudian disampaikan secara sublim kepada masyakarat yang lebih banyak.

Kebenaran ini, bukan berarti hanya sekedar keindahan belaka. Dalam artian, keindahan itu tidak boleh dilepaskan dari hal buruk yang juga melekat bersamanya. Dalam bukunya Estetika Keburukan, Karl Rosenkranz mengeluhkan tentang “pemalsuan luar biasa” yang dilakukan atas nama idealisme. Sesuatu yang ideal belum tentu indah. Maka dari itu, kita sebagai seorang seniman, bukan hanya bertugas untuk menampilkan eksistensi keindahan saja, melainkan juga eksistensi dari keburukan itu sendiri. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa “neraka tidak hanya religius-etis, tetapi juga estetis. Kita tegak di tengah-tengah keburukan.”[3]

Kita ketahui bahwa cinta bukan hanya menyenangkan tapi juga menyakitkan. Hal-hal semacam itulah yang pada dasarnya harus dapat ditemukan oleh seorang seniman. Seorang seniman, dalam hal ini sastrawan, harus dapat merampas sesuatu dari ketiadaan. Ketiadaan itulah yang kemudian diciptakan. Ia menjadi ada dan nyata. Ia membuat sesuatu menjadi hidup. Seseorang yang dapat melakukannya, boleh dikatakan sebagai seorang yang jenius. Ia mampu untuk melihat yang tidak terlihat, dan menangkap apa yang selama ini tidak tertangkap.

Pada era ini, ada baiknya sastra dianggap sebagai barang yang mahal. Mengutip quotes-quotes dari orang lain demi kelancaran sebuah bisnis yang mengatasnamakan sastra, adalah tindakan yang sangat saya sesali. Keburukan semacam itulah yang merusak nilai moral manusia. Seni, yang seringkali disandingkan dengan agama – dan sebagaimana agama – bukanlah permainan anak kecil. Bukan juga tempat bagi para penulis karbitan yang sekedar mengikuti tren jaman untuk menuliskan kata-kata indah tanpa makna.

Cinta, yang masih menjadi tema favorit saat ini, digubah dalam berbagai bentuknya yang menyedihkan. Ia diartikan secara tidak jelas dalam metafora yang tanpa makna. Sastra memang sedang menjamur, dan sebagaimana jamur, seringkali tumbuh di tempat-tempat yang tidak tepat. Sastra, bukan sekedar kata hati. Kalau begitu kalian menganggapnya, apa bedanya ia dengan curahan hati? Apa itu dapat dikatakan sebagai sastra, ketika kita mengetik curhatan kita melalui layar telepon genggam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun