Judul di atas sekaligus menjadi pertanyaan bagi saya yang mantan jurnalis.
Mau jujur saja kini kondisi sudah berubah. Teknologi komunikasi membuat pekerjaan jurnalis menjadi lebih mudah banget.
Namun yang membuat hati saya tergelitik ketika beberapa bulan lalu saya mengikuti sebuah semacam diskusi kecil mengenai bagaimana mengelola media online.
Seorang pembicara - maaf saya tidak sebut namanya. Kebetulan sang pembicara masih muda dan piawai berselancar di media sosial dan ia menyebut dirinya mumpuni di media online.
Saya mengikuti diskusi kecil setengah hari itu dengan seksama.
Namun betapa kagetnya saya ketika sang pembicara mengatakan bahwa sekarang pekerjaan jurnalis lebih muda. Tidak usah ke tempat kejadian perkara. Cukup berseliweran di media sosial atau rajin-rajin ubek-ubek di sana maka bisa membuat berita.
Saya kaget!
Menengok ke belakang ketika saya memulai menjadi jurnalis tahun 1986 lalu. Betapa sulitnya menjadi jurnalis. Waktu itu masih menulis berita di mesin tik.
Pakai kertas yang setiap sudutnya ada garis. Si jurnalis harus mengetik berita tidak boleh keluar dari garis itu.
Belakangan saya tahu kertas itu ternyata untuk mengukur milimeter kolom teman-teman di bagian perwajahan.
Belum lagi jika ketika editor yang galaknya minta ampun. Salah penggunaan kata sedikit saja wah mulut di editor sudah bernyanyi dan nada di Taman Margasatwa Ragunan bisa muncul tanpa henti.