Yang pasti diakui atau tidak, media cetak (baca: koran) haruslah berubah lebih inovatif agar survive. Beberapa studi kasus di Amerika Serikat, koran bisa bertahan dan bahkan berkembang di tengah era digital.
Tiga Kunci Bertahan
Ada beberapa hal yang patut dicermati pengelola media cetak dalam konteks di atas.
Pertama, tiada pilihan lain bagi media cetak untuk memperkuat kualitas jurnalistik.Â
Koran yang bisa bertahan dengan memperkuat mutu jurnalistik bahkan menemukan diri lebih menonjol ketika banyak pesaing tumbang secara bisnis terengah-engah atau mengabaikan kualitas jurnalistik demi mengerahkan Sebagian besar resources ke digital. Memanfaatkan kelemahan media online menjadi salah satu untuk mengubah diri.
Kedua, Â sudah saatnya media cetak membuat sinergi optimal dengan media online. Artinya, media massa tidak saja mengandalkan media cetak tetapi ikut juga membangun media online. Artinya, kehadiran secara online dapat memperkuat brand edisi cetak sekaligus meningkarkan value iklannya.Â
Potensial menangguk pendapatan dari cetak maupun online sekaligus. Sejumlah media cetak sudah menerapkan konsep ini. Pemasang iklan dapat memasang iklan secara bersamaan di media cetak dan online. Sebuah sinergi positif yang dapat dilakukan  agaknya.
Ketiga, media cetak juga harus mengintensifkan engagement dengan pembaca. Ini dapat diartikan membangun komunitas. Dalam beberapa hal itu berarti melayani minat/orientasi yang spesifik, lokal dan segmented. Koran umum yang sifatnya nasional akan overstretched dan kesulitan membangun keterikatan dengan pembaca yang makin terfragmentasi.Â
Di Amerika Serikat, ketika banyak koran nasional dan negara bagian kolaps ternyata media cetak lokal justru meningkat pendapatannya dan menguntungkan. Inilah yang kemudian melahirkan Radar ala Jawa Pos atau Tribun ala Kompas.
Kembali kepada perubahan cover Jawa Pos Minggu tadi itu maka hal itu adalah salah upaya untuk tetap eksis di tengan menjamurnya media online ibarat jamur di musim hujan.Â
Tak ada kata lain selain berubah dan Jawa Pos Minggu ketika itu yakni memilih itu: berubah semata-mata untuk pembaca yang dilayaninya. Bagaimana dengan media cetak (baca: koran) lainnya? Berubah atau lonceng kematian media cetak berbunyi!(*)