Demikian juga The Washington Post maupun The Sun. Jumlah halamannya rata-rata dua kali lipat lebih banyak dibandingkan edisi Senin hingga Sabtu.
Perubahan tampilan Jawa Pos Minggu ketika itu bukan sesuatu yang terlambat. Koran memang harus berubah. Tidak lagi berkutat dengan halaman lebar yang kadang menyulitkan ketika terpaksa harus dibaca dalam gerbong kereta.Â
Di tengah himpitan penumpang kereta, format koran yang lebih ramping agaknya bisa menjadi teman perjalanan yang mengasikan meski diakui serbuan media online yang dapat diutak-atik melalui jari jemari di gadget tidak kalah hebatnya.
Di tengah menguatnya budaya siber (cyberculture) di mana orang tidak lagi tergantung kepada media cetak seperti koran misalnya; orang mulai terbiasa bangun tidur lalu mencari telepon genggam atau gadget untuk mengabari dirinya melalui mengetik status atau kerajingan melihat status teman-temannya maka tiada pilihan lain bagi media cetak untuk mau tidak mau mengikuti perubahan karakter pembaca tersebut.
Shawn Wilbur (1997) menjelaskan bahwa melalui fasilitas web memungkinkan adanya kontak yang halus (ethereal contact) bahwa seseorang akan menemukan efek dalam kehidupan mereka ketika berhubungan dengan cyberspace. Sebab, karakteristik dunia virtuall bisa menghasilkan efek dan di sisi lain ia juga menjadikan dirinya sebagai sebuah efek.
Hubungan antarindividu di dunia virtual bukanlah sekadar hubungan yang dikatakan sebagai "substanceless hallucination" semata; pada dasarnya hubungan tersebut ternyata secara nyata, memiliki arti dan juga bisa berdampak atau berlanjut pada kehidupan yang sesungguhnya.Â
Dalam konteks ini maka cyberspace merupakan ruang konseptual di mana semua kata, hubungan manusia, data, kesejahteraan dan juga kekuatan dimanifestasikan oleh setiap orang melalui teknologi CMC atau Computer Mediated Communication.
Teman-teman saya di media cetak pasti mereka sadar akan hal tersebut di tengah-tengah banyak media cetak (terutama koran atau suratkabar) berhenti terbit, menyusutkan frekuensi terbit atau bertahan namun terus berkurang pendapatanya bahkan merugi.Â
Ada koran yang terpaksa terbit hanya untuk memelihara hubungan dengan relasi atau sentimen koran: rugi rasanya jika tidak membaca koran ini, misalnya.
Jika ada ramalan bahwa media cetak akan punah, mungkin saja itu anggapan yang terlalu prematur. Karena media siber atau online yang mendewakan kecepatan informasi terkadang terjebak kepada kurang mendalam informasi yang disajikan. Bahkan, dalam beberapa kasus media online "keliru" dalam menyajikan berita yang kemudian diubah dalam berita lanjutannya.
Dari sisi jurnalistik, kehadiran media online telah memunculkan trend berita pendek, cepat namun kehilangan kedalaman dan konteks. Di tengah rimba berita dan informasi yang membuat orang mudah tersesat maka peran jurnalistik sebagai gatekeeper yang secara tradisional melekat dalam media cetak tetap dibutuhkan pembaca: memilih isu yang penting dan bermanfaat namun sekaligus menarik dan menghibur.