Djafar, pengecer koran di Stasiun Depok kini tidak bisa tersenyum lagi. Harapan hidupnya dari menjual koran kian menipis. Jika dulu dia bisa membawa banyak koran tetapi kini paling banter 10 eksemplar saja. Kalau Senin ditambah Majalah Tempo. Itu pun hanya dua atau tiga majalah saja.
"Sekarang susah mas jual koran," tutur Djafar. Ia biasa menjajakan koran persis di depan loket sepeda motor yang hendak parkir di areal Stasiun Depok.
Katanya, sehari bisa laku lima koran saja sudah luar biasa."Sekarang orang baca berita di handphone. Koran Tempo saja sekarang sudah tidak ada edisi cetak. Mereka katanya online dan itu berlangganan. Ya bayar atuh. Tak gretongan," tuturnya lagi. Â Â
Beruntung Djafar juga merangkap sebagai ojek konvensional yang mangkal di Stasiun Depok. Ya jadi lumayan rada bisa ditutupi kebutuhan hidup Bersama istri dan anaknya."Kalau kaga ngojek gini wah berat mas. Dapur susah ngebul hehehehehehe," ia melanjutkan.
Maraknya teknologi komunikasi ditambah serbuan media sosial plus pandemi Covid-19, membuat banyak perubahan termasuk di media cetak terutama koran atau surat kabar. Sudah hampir tidak dilihat lagi ada penumpang KRL Commuter Line yang membaca koran di kereta. Dulu masih ada Koran Tempo yang simple untuk menemani perjalanan. Tetapi kini boro-boro!
Semua informasi kini sudah berada di smartphone. Mau cari berita apa; sudah tersedia di tangan. Asal paket internet cukup, pembaca sudah bisa selancar ke mana-mana. Luar biasa! Teknologi komunikasi telah mengubah keadaan.
Memang ada koran yang mencoba beradaptasi dengan menerbitkan edisi format kecil mirip-mirip tabloid. Seperti Jawa Pos Minggu, misalnya. Koran yang satu ini meredesain cover-nya menjadi lebih ramping.Â
Dari yang sebelumnya berukuran young broadsheet dengan lebar 7 kolom tinggi 554 mm menjadi lebar 5 kolom tingginya 300 mm.
Ukuran baru ini adalah format praktis ketika Jawa Pos dilipat. Edisi minggu ini menjadi separo ukuran Jawa Pos edisi Senin sampai Sabtu. Koran Tempo sudah lebih dulu mengubah cover-nya. Tetapi kini Koran Tempo sudah beralih menjadi e-paper dan pembaca wajib berlangganan.
Bagi Jawa Pos tidak ada istilah terlambat untuk meredesain tampilan tersebut.
Di pengantar redaksi Jawa Pos Minggu ketika tampil beda beberapa waktu lalu disebutkan bahwa Jawa Pos Minggu yang dicetak 64 halaman atau setara 32 halaman edisi weekday diakui atau tidak mengikuti habit koran-koran negara maju seperti The Straits Times yang biasa terbit lebih dari 100 halaman untuk edisi Sunday.Â