Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berjuang Hidup Bersama Balon Warna-warni

29 Juli 2021   07:46 Diperbarui: 29 Juli 2021   07:53 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Pi'i penjaja balon keliling di kawasan Grand Depok City. (Foto: Norman Meoko)

Banyak cara untuk bisa bertahan hidup. Ada yang mengambil rupa badut. Ada juga yang menjadi manusia gerobak. Menjadi penjual tisu juga ada. Namun beda bagi Pak Pi'i. Pria berusia 62 tahun ini justru menapaki hidup sebagai penjual balon warna-warna dan beraneka-rupa.  Ada balon lumba-lumba. Ada juga balon jerapah. Ia berkeliling ke kompleks perumahan untuk menjaring pelanggan anak-anak. Kali saja rezeki tertumpah!

Semalam saya bertemu Pak Pi'i di sebuah super market tidak jauh dari kantor Pemadam Kebakaran Kota Depok di Kawasan Grand Depok City (GDC).

Kami pun ngobrol sambil nyeruput kopi untuk membunuh sepi. Lalu-lalang di seputaran GDC malam itu sepi. Cafe yang terletak di sebelah super market tidak lagi bunyikan senandung malam. Deretan toko pun sudah tutup sejak pandemi Covid-19 mengamuk.

Pak Pi'i bercerita perjalanan hidupnya yang disebutnya malang-melintang. Kisah hidupnya berawal dengan merantau sebagai office boy di Roxy Mas, Jakarta Barat. Ketika itu dia baru pengantin baru. Sama sekali buta mengenai Ibu Kota Jakarta. Kebetulan sang istri jago masak. Akhirnya mereka berdua bekerja di tempat yang sama. Pak Pi'i dan istrinya berharap kerja keras mereka bisa menjadi kebanggaan di kampung halaman: Sleman!

Namun impian itu kandas di tengah jalan. Sang istri diambil sopir taksi dan Pak Pi'i harus gigit jari dan menapaki hidup sendiri di sebuah kota bernama Jakarta. Cintanya rempuk. Hatinya hancur. Air mata tumpah ruah. Beruntung Pak Pi'i segera bangkit karena hari-hari masih panjang. Masih ada harapan di ujung sana.

Dan benar! Jodoh siapa yang tahu. Ia pun dapat jodoh. Harapan untuk mewujudkan impian meraih sukses kembali di depan mata. Luka lama terobati. Masa lalu per lahan tetapi pasti raib tanpa bekas.  

Roda berputar. Tahun 1998 Pak Harto lengser keprabon. Hidup Pak Pi'i pun terguncang karena perusahaannya gulung tikar. Dia pun menyingkir ke daerah peyanggah Ibu Kota: Depok! Ia pun memulai hidup sebagai penjual balon-balon warna-warni yang dicari anak-anak. Awalnya dengan sepeda, dia pun bergelut mencari sesuap nasi. Tuhan merestui itu. Dua anaknya kini sudah besar dan bekerja. Anak pertamanya sudah menikah dan memberinya cucu. Anak yang kedua sudah bekerja. Tinggal yang bontot masih bersekolah.

"Saya kini tinggal sekolahkan yang bontot. Dari jualan mainan anak-anak ini alhamdullilah, hidup lancar-lancar. Walau kini banyak sekolah tutup karena Corona. Ya terima saja. Gusti Allah sudah mengaturnya, " tuturnya.

Pak Pi'i tidak pernah takut hidup ini. Dia percayakan semuanya kepada Gusti Allah."Sepuluh tahun rantau di Roxy Mas. Lima belas tahun di Depok ini. Semua kesusahan saya bawa senyum saja, " ia melanjutkan.

Soal rezeki, Pak Pi'i tak mau menyebut. Dia bilang sambil menebar senyum: ya cukup untuk keluarga Mas."

Di musim pandemi seperti sekarang ini Pak Pi'i menjual dagangannya dengan sepeda motor tuanya."Tapi saya lebih suka pakai sepeda. Ini istri yang suruh agar bisa cepat pulang jika hujan turun, " katanya.

Malam sudah larut. Dingin mulai mencubit kulit ini. Kami berpisah. Pak Pi'i melanjutkan perjalanan ke rumahnya di Studio Alam TVRI Depok. Dalam hati saya jujur salut dengan perjuangan lelaki dari Sleman ini.

Benar katanya: soal rezeki sudah diatur Sang Gusti! Semangat Pak Pi'i. Suatu saat kita berjumpa lagi dan obrolan kita bisa berlanjut.

Ternyata banyak cara untuk bertahan hidup. Seperti Pak Pi'i yang berjibaku sebagai penjual balon warna-warni. Tetap semangat Pak! Keyakinan akan sebuah harapan telah menjadi sinar di balik kegelapan malam.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun