Masalahnya bukan soal tulis-menulis tetapi banyak karakteristik media online yang sangat berbeda dengan media cetak. Media cetak dibatasi dengan deadline kecuali ada breaking news.Â
Deadline bisa diundur. Kondisi itu berbeda dengan media online.Â
Di media yang satu ini tak ada istilah deadline. Penyajian berita realtime. Selalu berputar tiada henti. Di cetak, jurnalis bisa ngasoh usai deadline. Sesuatu yang tak mungkin di media online. Berita harus terus dikembangkan sampai tuntas. Running news menjadi andalan di media online.
Pengalaman saya di Sinar Harapan dulu mengaminkan itu.Â
Koran ini pun harus kibarkan bendera putih di pengunjung tahun 2015. Banyak jurnalis yang protes karena mereka merasa jurnalis cetak yang notebene hanya mengisi koran bukan online. Mereka menganggap ada beban tambahan ketika juga harus mengisi online selepas deadline cetak.Â
Ini persoalan yang tidak mudah dicarikan solusinya tetapi harus diatasi. Mereka bahkan minta tim online khusus yang mengerjakan dotcom.Â
Sesuatu yang pasti dianggap manajemen sebagai pemborosan dari sisi budget. Sudah ongkos cetak mahal ditambah lagi ada penambahan biaya. Apapun ini!
Bisa jadi persoalan ini juga muncul pada media cetak lainnya ketika konvergensi dan newsroom diperkenalkan. Kondisi inilah yang kemudian terjadi pemisahan antara awak cetak dengan online bahkan badan hukum mereka juga berbeda. Ini langkah untuk mengakhiri konflik berkepanjangan.
Ada pula yang akhirnya membuat dotcom baru dengan lebih memulai dengan edisi e-paper. Kompas salah satunya dengan apa yang dinamakan Kompas.id. Berbeda dengan Kompas.com.Â
Indepth reporting ditambah visual dimainkan di situ sehingga menjadi sajian menarik bagi pembaca. Ya mirip-mirip Tirto.id punya senior saya Mas Sapto.
Ya zaman memang telah berubah. Dan hanya yang mampu mengatasi masalah itu keluar menjadi pemenang. Ayo siapa yang siap menjadi the winners atau hanya menjadi penonton belaka: duduk manis di luar gelanggang?(*)