Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Sepeda di Tengah Pandemi Covid-19

23 Juli 2021   13:48 Diperbarui: 24 Juli 2021   02:55 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19, disadari atau tidak telah membuat sepeda booming luar biasa. Ruang publik diramaikan dengan mendadak masyarakat berlomba bersepeda. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tiba-tiba saja bersepeda terutama di kota-kota besar menjadi primadona. Luar biasa bro and gais!

Sepeda motor bahkan mobil semahal berapa pun harganya mulai tersaingi dengan kehadiran sepeda. Leasing sepeda motor kini mendapat pesaing tangguh: sepeda gowes!

Bersepeda kini telah menjadi gaya hidup. Dia tidak lagi menjadi sesuatu yang malu-maluin tetapi bahkan sudah menjadi barang mewah karena ternyata ada juga sepeda yang berharga selangit. Sepeda lipat (seli) Brompton asal Inggris misalnya.

Tak salah jika kemudian Kementerian Perhubungan tiba-tiba saja melirik peluang pajak di balik maraknya bersepeda itu.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pun tak mau kalah. Kawasan bagi pesepeda pun dibuat walau belakangan dilarang karena kasus Covid-19 di Jakarta tidak sulut malah kian bertambah. Zona merah belum hengkang dari wilayah Ibu Kota Jakarta.

Ya, bersepeda sudah menjadi gaya hidup masyarakat di perkotaan. Ia bukan lagi hanya sebatas alat transportasi biasa tetapi telah menjadi milik semua lapisan golongan di masyarakat. Bersepeda menjadi obrolan tiada henti di ruang publik. Mulai dari warung kopi, warung Tegal bahkan hingga di gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodebatek.

Media pun tiba-tiba menjadikan gaya hidup bersepeda ini komoditas liputan yang tidak kalah dengan peristiwa politik seperti Deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi Menteng Jakarta Pusat. Liputan bersepeda juga mengalahkan berita ekonomi bisnis yang katanya negeri ini harus bersiap menghadapi resesi seperti halnya negeri tetangga: Singapura!

Luar Biasanya Sepeda

Muhidin M Dahlan, salah seorang pendiri Newseum Indonesia bahkan pernah menulis perihal Jurnalisme Sepeda. Ia terang-terangan menyebut adanya Jurnalisme Sepeda. Jurnalisme sepeda adalah bentuk hybrid dua kultur: jurnalistik dan sepeda.

Dia menyebut, jurnalistik adalah jurnal, catatan harian. Ikhtiar mencatat dan menghimpun informasi yang dilakukan terus-menerus serta dilandasi kesadaran dan tanggung jawab etik disebut jurnalisme. Dalam jurnalisme ada tuntutan yang bersifat kini dan di sini. Adapun sepeda merupakan moda transportasi dan bagian dari olahraga. Dan, kini sepeda bergeser menjadi gaya hidup dalam masyarakat perkotaan. Sepeda menjadi rekreasi.

Muhidin menyebutkan, jurnalisme sepeda bukan peliputan tentang sepeda tetapi menggunakan prinsip-prinsip sosial sepeda sebagai metode pemberitaan jurnalistik. Kegiatan bersepeda menjadi objek pemberitaan yang tiada habisnya. Karena kini banyak komunitas sepeda yang menggelar touring ibarat konvoi sepeda motor untuk mengeksplorasi keindahan wisata di negeri ini.

Dalam konteks ini maka bersepeda datang sebagai interupsi di antara hingar-bingar berita politik yang belakangan membanjiri negeri ini. Ibarat panah yang terus melesat mencari sasaran. Meski sebenarnya kita tahu siapa mereka dan siapa yang disasar! Itulah politik! Seperti kata Pak Harto: dalam politik tidak akan pernah ada sahabat sejati!

Di sepeda selalu melahirkan persahabatan. Di sepeda selalu ada tawa-canda. Di sepeda selalu ada keakraban dan di sepeda selalu ada kebersamaan: saling membantu: menolong karena perasaan senasib: mengowes sepeda.

Di balik itu semua: bersepeda apalagi di kota-kota besar ternyata membawa aura positif. Bukan rahasia umum lagi jika banyak kota-kota besar di dunia yang dipusingkan dengan tingkat polusi yang luar biasa beratnya.

Jakarta misalnya. Jakarta dengan gedung jangkungnya yang seakan ingin mencakar langit dibikin susah karena asap kendaraan bermotor. Merujuk penelitian Universitas Indonesia, misalnya, disebutkan bahwa 57,8 persen pasien di rumah sakit Jakarta mengalami komplikasi pernapasan akibat polusi udara. Dari keseluruhan pasien 1,2 juta atau 12,6 persen di antaranya memiliki keluhan asma atau bronchitis. Dengan perkiraan biaya Rp173.000 hingga Rp4,4 juta per pasien maka total ongkos pengobatan akibat asma dan bronchitis bisa mencapai Rp210 miliar hingga Rp5,3 Triliun. Sebuah angka yang luar biasa besarnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, biaya berobat akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai Rp38,4 Triliun. Studi ini menyebutkan, 57,8 persen warga Jakarta terkena penyakit akibat pencemaran udara seperti asma, infeksi saluran pernapasan akut, pneumonia, penyempitan saluran pernapasan dan penyakit arteri korona.

Karena itu momen pandemi Covid-19 yang kemudian melahirkan new normal berupa gencarnya masyarakat untuk bersepeda, setidaknya dapat ikut menyumbang udara Jakarta yang lebih bersih. Masyarakat akhirnya sadar bahwa ruang-ruang Ibu Kota harus diisi dengan ruang terbuka hijau sebanyak mungkin. Penggunaan kendaraan bermotor mulai dikurangi.

Selalu ada hal positif di balik sesulitnya kondisi seperti ketika pandemi Covid-19 berkecamuk. Ibarat pepatah: selalu ada pelangi yang indah selepas badai seganas apapun. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun