Bill Kovach dan Tom Resenstiel dalam "Blur: How to Know What's in the Age of Information Overload" menyinggung soal era banjir informasi seperti sekarang ini. Bagaimana memilah-milah dari sekian banyak informasi yang berseliweran tanpa henti? Publik jangan sampai malah tenggelam dalam banjir informasi tersebut.
Bukan rahasia umum jika kewajiban utama media adalah menjunjung tinggi kebenaran serta mengangkat aspirasi pihak yang lemah dan tidak mampu bersuara sendiri. Media massa harus menjadi watch-dog yang senantiasa menyalak ketika penguasa menyelewengkan kekuasaan.
Idealisme itu seharusnya dipegang teguh media massa di era membludaknya informasi yang kian memadati ruang-ruang publik.
Bukan rahasia umum lagi jika kini kaum oligarki ikut bermain dalam kancah permedia-massaan. Melalui industri media mereka berkuasa dengan merumuskan percakapan ratusan warga negeri ini setiap hari. Tanpa sadar publik dijejali dengan keinginan kaum oligarki tersebut. Dari mata melek hingga menyelinap di ruang kamar tidur pun masih diselimuti informasi yang sudah direkayasa mengatasnamakan ideologi media dan framing.
Media yang telah dikuasai itu mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Lalu agenda publik menjadi perwujudan agenda pemilik modal. Ruang publik disesaki oleh kepentingan elite untuk melayani napsu ekonomi-politiknya. Parahnya lagi kerja media dijalankan dengan prinsip-prinsip meraih pasar sebanyak mungkin. Persetan dengan apa yang dinamakan kepentingan atau suara publik. Padahal pasar adalah hutan rimba penaklukkan antarspesies. Yang berlaku adalah prinsip yang kuat yang juara. Suara rakyat tertindas hilang tanpa bekas.
Media kemudian hanya menjadi produsen informasi berdasarkan apa yang diinginkan pasar dan bukan apa yang dibutuhkan publik. Warga dengan segala hak dasarnya hanya menjadi entitas yang tidak dikenal. Malah dijauhi sama sekali. Publik secara tidak langsung dipaksa mengikuti selera pemilik modal. Dalam konteks ini akhirnya publik diberdayakan agar giat mengonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media yang kerap menggeser fokus substansinya ke masalah-masalah yang tidak penting.
Inilah akhirnya yang menyebabkan masyarakat mulai tidak memercayai media arus utama. Masyarakat berselancar dalam mainan baru bernama media sosial. Akhirnya kini publik bisa menjadi penguasa informasi. Melalui jari-jemari mereka bisa mengonsumsi informasi apapun bahkan sebanyak mungkin tanpa batas. Media sosial menjadi wadah eksis warga. Jika ada persoalan, warga tak perlu lagi membuat surat pembaca agar dimuat di koran misalnya tapi kini dengan kemampuan teknologi komunikasi, publik bisa juga merekam gambar dan dalam sekejap diunggah di akun media sosial mereka. Entah Twitter, Facebook atan Story Instagram. Hebat kan?
Mulai Ditinggalkan Pembaca
Media arus utama mulai ditinggalkan. Media arus utama bukan lagi raja informasi. Inilah saatnya publik beramai-ramai berbagi informasi dalam ranah bernama media sosial. Media arus utama kini menjadi anak tiri bukan lagi anak sulung yang selalu dimanja dalam segala hal.
Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola media arus utama untuk merebut masa kejayaan masa lampau. Persoalan bisa atau tidak maka itu soal lain. Seorang teman di sebuah koran pernah bilang begitu kepada saya: mereka akan habis-habisan untuk menghadapi era banjir informasi."Kalau perlu sampai berdarah-darah, " seloroh teman saya itu sambil tertawa di ujung telepon.
Saya hanya berpesan begini kepada teman saya itu: media seharusnya menjadi ruang publik yang bisa diakses siapa pun, di mana antargagasan melintas dan berdialog dengan setara yang pada prosesnya mampu menyediakan ruang diskusi yang memungkinkan tindakan partisipasi politis masyarakat. Memang media butuh iklan untuk hidup tetapi tidak lantas menjadikan media menjadi panggung parade iklan-iklan. Media jangan menjadi ruang monolog bagi elite politik untuk jual kecap nomor satu.