Jurnalisma Damai setidaknya mengajarkan kepada jurnalis untuk dapat merefleksikan paradigma apa yang cocok dalam meliput konflik horizontal di tingkat lokal maupun nasional. Mulai dari konflik horizontal dengan nuansa agama, suku, identitas pekerjaan sampai konflik politik yang melibatkan massa bayaran atau konstituen tradisional.
Lantas bagaimana dengan jurnalis yang meliput peristiwa traumatik. Â Bagi saya peristiwa traumatik bukan cuma tragedi kemanusiaan seperti pemboman di Kuta Bali (Oktober 2002), pemboman Hotel JW Marriot di Jakarta (Agustus 2003) atau pemboman di depan Kedutaan Besar Australia di bilangan Kuningan Jakarta Selatan (September 2004) atau peristiwa traumatik lainnya seperti pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, konflik social di Ambon serta bencana alam yang melanda Aceh dan Sumatera Utara pada Desember 2004. Dan masih banyak contohnya.
Tanpa disadari ketika jurnalis melaporkan tentang Covid-19 apalagi dengan framing menonjolkan kengerian seperti lubang-lubang di tempat pemakaman umum untuk jasad korban Covid-19 diakui atau tidak akan memberi dampak yang akan dirasakan oleh keluarga korban Covid-19 termasuk masyarakat yang membaca laporan-laporan tersebut. Yayasan PULIH menggunakan istilah penyintas (survivor). Seharusnya jurnalis (terutama media massa) tidak mendahulukan framing yang menggambarkan kengerian tetapi bagaimana menghindari efek negatif yang timbul seperti trauma ulangan (retraumatisasi) yakni keadaan di mana korban merasa seperti mengalami kembali kejadian tersebut. Intinga jurnalis dengan laporannya malah menciptakan trauma ulangan bagi penyintas.
Dalam buku "Panduan bagi Jurnalis dalam Meliput Peristiwa Traumatik" disebutkan sejumlah dampak peristiwa traumatik (secara umum) yakni gangguan pola tidur, emosi ekstrim yang sulit terkendali, gangguan efektivitas dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, tergoncangnya nilai-nilai dasar kemanusiaan, hilangnya kepercayaan terhadap orang atau kelompok lain, kecurigaan terhadap orang lain. Jika keadaan itu berlarut-larut makan penyintas dapat mengalami gangguan stres pasca trauma.
Berkaca pada semua hal di atas, saya kembali tergugah dengan pertanyaan mahasiswi saya itu. Apakah laporan-laporan bertubi-tubi dari media terkait pandemic Covid-19 benar-benar telah membuat kita panik? Â Mahasiswi saya itu menyebut dengan istilah panic attack.
Saya sempat terdiam. Saya merenung panjang: apakah jurnalis kini lebih mementingkan "clickbait" (terutama untuk media online) ketimbang tanggung jawab sosial kepada pembacanya. Apakah tidak ada lagi niat untuk membagi satu kalimat atau lebih tentang sebuah harapan yang disusun dalam sebuah berita?
Tanpa terasa waktu kuliah melalui google meet telah berakhir. Perkuliahan daring karena pandemic Covid-19 telah berakhir. Tetapi uneg-uneg mahasiswi saya itu tidak berhenti. Dia memenuhi benak saya sampai akhirnya saya menulis status ini.
Saya masih tetap yakin selalu ada harapan dalam apapun kondisi kita. Selalu ada pelangi yang indah selepas badai! Harus yakin. Kita bisa melewati tsunami Covid-19 ini. Seperti judul sebuah film layar lebar: "Badai Pasti Berlalu".(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H