Banyak kota di dunia yang berlomba menjadi kota sehat. Namun, tidak semuanya bisa menyandang sebagai kota sehat. Apakah Jakarta sudah layak menjadi sebuah kota sehat bagi penghuninya?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah merumuskan konsep sebuah kota sehat. Begini katanya: sebuah kota sehat diibaratkan organisme hidup yang kompleks, bernapas, bertumbuh dan terus-menerus berubah. Selain itu, kota sehat terus mengembangkan sumber dayanya sehingga warganya dapat saling mendukung dalam memaksimalkan potensi yang ada.
Jauh dari itu, sebuah kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga menghasilkan kehidupan yang berkualitas dari berbagai aspek teknis, sosial, ekonomi dan budaya.
Sudahkah Jakarta memberi rasa aman dan nyaman bagi warganya. Hujan deras datang menyapa dan kemudian melahirkan genangan air serta memunculkan banjir. Jelas kondisi itu membuat warga Jakarta jauh dari rasa nyaman. Kasus pelecehan seksual di commuter line juga menjadikan rasa aman jauh dari sudut-sudut kaum hawa di kota ini. Kasus serupa juga pernah terjadi di Transjakarta apalagi di angkutan kota seperti Koperasi Wahana Kalpika (KWK).
Kota yang sehat meningkatkan kualitas kehidupan yang optimal dan ujung-ujungnya melahirkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik sebuah kota. Singkat kata: wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Daya tarik kota dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah pilihan warga dunia untuk mendatanginya.
Lantas, bagaimana dengan Jakarta?
Bukan rahasia umum lagi jika ganti gubernur, ganti pula kebijakannya terutama menyangkut fungsi kotanya. Jakarta pernah ingin dijadikan sebagai kota budaya: patung di mana-mana. Jadi ingat Henk Ngantung sang pemimpin Jakarta ketika itu. Jakarta juga pernah diimpikan menjadi Ibu Kota yang sejajar dengan Ibu Kota negara lain di dunia. Itu pesan Pak Harto ketika Surjadi Soedirdja menjadi gubernur. Terakhir, Jakarta juga digadang-gadang menjadi kota jasa (service city) layaknya Singapura.
Untuk yang satu ini, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahkan pernah berguru ke Singapura dan menjiplak kebijakan perkotaan di sana.
Namun tanpa disadari, Jakarta terseret ke arah pembangunan kota besar lainnya di dunia. Tata ruang kini berubah luar biasa. Ruang terbuka hijau (RTH) semakin tersudut. Taman sebagai salah satu ruang publik per lahan tapi pasti mulai terjepit hutan beton. Padahal, taman adalah elemen kota yang multifungsi. Selain untuk keindahan, taman berfungsi sebagai tempat bermain, berolahraga, mendapatkan udara segar, pemelihara ekosistem tertentu dan pelembut arsitektur sebuah kota.
Bagi warga kota, taman merupakan sarana pemiliharaan hubungan emosional dengan alam dan arena bersosialisasi dengan sesama dalam suasana santai. Begitu pentingnya fungsi sebuah taman bagi kehidupan kota sehingga pengelola kota di negara-negara maju umumnya sangat serius bahkan mendahulukan setiap kebijakan yang menyangkut pembangunan taman sebagai ruang publik.
Pembangunan Mal
Kondisi ini jauh berbeda dengan Jakarta. Ruang publik tergerus pembangunan  fisik yang luar biasa. Mal terus bertambah meski belakangan banyak pusat belanja modern yang juga perlahan ditinggal pembelinya akibat bisnis daring.
Banyak kawasan yang semula direncanakan bukan menjadi kawasan bisnis dipaksa beralih fungsi menjadi kawasan komersial. Mal salah satunya. Kabarnya jumlah mal di Jakarta sudah melebihi angka 170 lebih. Itu jelas melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya.
Jangan hanya mengatasnamakan kota modern, globalisasi dan perdagangan internasional bahkan sekadar menyongsong era yang disebut Sekjen PBB ketika itu, Kofi Anan sebagai urban milenium. Di era itu, masalah perkotaan akan menjadi tema sentral yang bakal sering diperbincangkan. Sebanyak 60-70 persen penduduk dunia berkumpul dan hidup berinteraksi di kota besar.Â
Tanpa disadari, para pengembang membangun mal untuk menjawab depresi dan stres warga Jakarta. Suasana di rumah dicoba dihadirkan di mal. Makan bersama yang menjadi tradisi ketimuran dihadirkan melalui sajian kuliner di mal-mal.
Pengembang berlomba mengembangkan ide mereka untuk membangun pusat belanja yang memiliki banyak fungsi. Tanpa disadari, fungsi taman kota pun hilang. Invasi kawasan hijau menjadi kawasan komersial karena penegakan tata ruang wilayah di Jakarta yang sama sekali lemah. Gubernur Wiyogo Atmodarminto pernah berujar. Katanya, posisi Jakarta begitu lemah saat bargaining dengan pihak swasta dalam membangun. Akhirnya, lahan-lahan di Ibu Kota sepenuhnya menjadi milik pengembang.
Menarik apa yang dikatakan mantan Wali Kota Bogoto, Kolombia, Enrique Penalosa ketika hadir dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun silam. Ia mengatakan, pembangunan mal di kota-kota besar tidak selamanya menunjukkan citra positif. Malah, sebaliknya bisa negatif. Penalosa menilai ciri-ciri kota sakit bisa dilihat dari banyaknya jumlah mal. Makin banyak jumlah mal, makin sakitlah kota tersebut. Itu karena pembangunan mal dipastikan memangkas ruang publik.
Kota yang baik, menurutnya, kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk penduduk berjalan kaki dan berkumpul bersama.
Ketika mal menggantikan ruang publik sebagai tempat bertemu warga, kota itu bisa dicirikan sebagai kota sakit. Itu karena mal tanpa sadar menciptakan jurang antara si kaya dan si miskin.
Lantas, pertanyaannya: sudah sehatkah Jakarta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H