Mohon tunggu...
norma mangajun
norma mangajun Mohon Tunggu... -

seorang ibu rumah tangga dengan 3 orang anak, sebelumnya sempat menjadi sekretaris redaksi di majalah femina dan sekertaris direktur sekaligus Office manager pada Rhenald Kasali Management.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

DIA

31 Juli 2010   10:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Termenung mengenangnya.Sekian tahun bersama, tetapi masih begitu banyak yang belum kupahami darinya.Terlalu banyak yang ia korbankan untuk diriku. Aku menikmatinya.Namun adakalanya aku merasa ia begitu posesif.

Semalam, di tengah pertengkaran itu, dia kembali mengusikku. “Kuasai dirimu!” begitu selalu katanya. Kata yang berulang-ulang dia ucapkan akhir-akhir ini dan berulang-ulang pula kujanjikan akan kupatuhi, walau kenyataannya berbeda. Bagaimana tidak? Si sulung begitu memeras tenaga dan pikiranku. Mengajaknya belajar bagaikan persiapan menghadapi medan perang. Ya, mungkin perang yang kuciptakan sendiri. Sementara di ruangan lain kedua adiknya hanya menghabiskan waktu menonton televisi, tak sempat kuurus karena seluruh waktuku sudah kuberikan untuk si kakak, yang nyatanya toh belum juga selesai membaca tugasnya dari sekolah.

Aku putus asa! Tak mampu membagi diri untuk ketiga anakku dan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan. Belum lagi berpikir cara menyiasati biaya hidup yang semakin besar seiring dengan semakin besarnya anak-anak. Dan yang lebih tak kumengerti ketenangannya yang hanya bisa berkata “bersyukurlah untuk semua yang ada”.

Sulit dipercaya bila hingga saat ini aku belum pernah bertatap muka dengannya. Hanya kata-katanya sejuknya yang setia datang, walaupun seringkali pula menimbulkan amarah. Bagaimana tidak! Di tengah kepanikanku akan begitu banyaknya masalah yang belum teratasi, dia hanya bisa berbisik “mengeluh hanya akan membuat masalahmu bertambah besar”

Menurutku kadang-kadang tidak realistis caranya berpikir. Tetapi anehnya, ketika logika ini mulai bisa diajak undur diri sejenak, dan ketenangan menghampiri untuk merenungkan keinginannya, … ternyata damai itu terasa begitu dekat.

Ketika suara terbanyak menjadi pilihan atas satu permasalahan dalam keluarga besar kami, dia justru memintaku untuk bijak memilih atas hati nurani.

Kukagumi dia, dengan seribu perbedaannya.

Dia memang berbeda, tetapi mengapa kupilih dia lebih dari berjuta mereka?

Pada akhirnya kusadari, dia adalah Dia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun