Sistem Omnibus Law dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sangat mungkin memangkas ego sektoral yang selama ini terjadi di berbagai level pemerintahan, baik di tingkat kementerian maupun pemerintah daerah melalui penguatan kewenangan Presiden.
Ego sektoral seringkali muncul karena di setiap kewenangan yang diberikan ke kementerian disahkan melalui Undang-Undang. Padahal, posisi menteri seharusnya menjadi pihak yang membantu Presiden dalam merealisasikan program kerjanya. Ketika suatu aturan terjadi overlap dengan kebijakan pemerintah, kewenangannya (kementerian) tidak bisa disesuaikan oleh Presiden, tetapi harus dibahas lagi dengan DPR. Kondisi Ini akan menjadi hambatan dalam implementasinya dilapangan.
Hal ini sangat dirasakan oleh pelaku usaha yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Seringkali mereka harus mengurus perizinan yang lintas kementerian, sedangkan aturan kementerian terkadang tumpang tindih dengan aturan kementerian lain.
Dalam metode Omnibus Law yang digunakan dalam RUU Cipta Kerja, kewenangan kementerian ini cukup diberikan melalui aturan lanjutan tanpa harus membuat UU baru. Dengan demikian, ketika terjadi ketidaksinkronan antaraturan dapat dilakukan penyesuaian dengan mudah dan cepat.
Terkait otonomi daerah dan Peraturan Daerah (Perda) yang juga sering menjadi hambatan investasi, masyarakat harus mengingat bahwa otonomi daerah pada hakikatnya merupakan pembagian kewenangan kepada daerah oleh pemerintah pusat. Indonesia bukanlah negara federal, tetapi negara kesatuan, sehingga pemerintah daerah, kepala daerah dan DPRD juga merupakan pembantu presiden. Fungsinya adalah representasi pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Artinya, aturan yang dikeluarkan seharusnya tidak boleh melenceng dari regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Namun, pada kenyataannya tidak sedikit Perda yang justru bertentangan atau menghambat tujuan pemerintah pusat. Dalam hal investasi, kondisi ini akan menyebabkan pengurusan perizinan sebelum menanamkan modal (investasi) menjadi lebih lama dan akan memakan biaya yang cukup tinggi.
Kontroversi yang muncul di RUU Cipta Kerja adalah kewenangan presiden yang bisa mencabut Perda. Padahal sudah ada aturan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan tersebut. Namun, perlu diingat bahwa pembatalan kewenangan presiden untuk mencabut Perda juga pernah terjadi dissenting opinion dari empat hakim, sehingga secara akademik masih sangat mungkin untuk didiskusikan. Oleh karena itu, tidak selayaknya aturan terkait penguatan kewenangan Presiden dipermasalahkan. Akan tetapi dalam pembahasannya nanti perlu dikaji lebih dalam terkait kelebihan dan kekurangannya terhadap sistem demokrasi dan otonomi daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H