Lihatlah hujan itu. Bukankah kehadirannya begitu mereka rindukan? Namun saat ia datang, banyak dari mereka malah mengeluhkan. Mereka dahaga saat tak ada hujan, tapi malah menghujat saat hujan datang. Mereka takut basah, takut dingin, dan takut hujan menciptakan air bah. Mereka lupa sebelum hujan datang mereka juga takut. Takut kering, takut dahaga, takut suhu tinggi, bahkan takut lapar. Lalu hujan datang, menghapus ketakutan itu. Menciptakan ketakutan baru. Mereka selalu ketakutan hingga lupa cara untuk bahagia.
Siapakah hujan hingga begitu dirindukan namun juga begitu mudah dilupakan bahkan dielukan?
Hujan, ialah suatu bentuk yang jika diibaratkan hati, ia begitu tulus. Tak peduli diacuhkan, tak peduli dielukan, tak peduli jika mereka yang merindukan malah menghindari sentuhannya. Ia tetap datang disaat waktunya memang untuk datang. Diam-diam kehadirannya mengguyurkan kesejukan, menghapus dahaga. Diam-diam kehadirannya menciptakan kehidupan, menumbuhkan benih-benih kemakmuran. Menjadi salah satu alasan untuk berbahagia.
Siapa mereka hingga begitu merindukan hujan namun juga begitu mengeluhkan hujan?
Mereka mungkin segelintir yang melupakan jawaban dari pertanyaan.
Siapa yang menciptakan hujan? Siapa yang menciptakan air bah? Siapa yang menciptakan dingin? Siapa yang menciptakan kering? Dan siapa yang menciptakan mereka?
Siapa yang menyebabkan musim tak menentu (datangnya hujan)? Siapa yang menyebabkan datangnya air bah? Siapa yang menyebabkan dan membiarkan munculnya rasa takut?
Andaikan mereka benar-benar paham. Tak seharusnya ada ketakutan pada yang dirindukan, keluhan pada yang dinantikan, dan hujatan pada yang menghapus duka dan memberi kesejukan.
Mereka bukan yang memiliki hak untuk mengatur kapan hujan boleh datang dan kapan hujan tidak boleh datang. Bahkan hujan pun tak punya hak untuk itu.
Andai mereka paham. Merekalah yang seharusnya menyiapkan diri untuk menyambut pada yang dirindukan. Agar kelak saat yang dirindukan dan dinantikan itu benar-benar datang, mereka dapat memperlakukannya dengan baik. Melepas kerinduan dengan riang. Menikmati kesejukannya tanpa rasa takut.
Andai mereka paham. Bukan keluhan lah yang seharusnya mereka luapkan. Namun rasa syukur dan penerimaan. Seperti mereka mau menerima kesejukannya, mereka juga harus mampu menerima rasa dinginnya. Seperti mereka mau menerima benih-benih kemakmurannya, mereka juga harus mampu menerima air bah yang bisa saja ditimbulkannya.
Lagi pula, andai mereka menyiapkan diri dengan baik. Resiko yang ditimbulkan tak akan sebesar seperti ketika belum siap. Andai mereka menyiapkan diri dengan baik, hatinya akan lebih kuat untuk menghadapi dan mengatasi segala resiko yang ditibulkan.
Bukan hujan yang harus mengimbangi mereka. Merekalah yang harus mengimbangi dan beradaptasi untuk hujan, yang dirindukan.
Aku merindukan hujan seperti aku merindukan matahari.
Jika mereka dan hujan dapat menjadi suatu ibarat. Bisakah aku ibarat mereka dan kamu ibarat hujan?
Aku ingin menyiapkan diri untuk menyambut apa yang aku rindukan. Hujan, matahari, dan kamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H