Mohon tunggu...
Norin Abheseka
Norin Abheseka Mohon Tunggu... -

amateur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinamika Kampanye Pilpres

30 November 2014   19:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:26 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penyelenggaraan pilpres 9 Juli memang sudah lewat, bahkan euforianyapun sudah mulai meredup,namun tidak ada salahnya jika kita mengevaluasi bagaimana pelaksanaan pesta demokrasi yang terjadi hanya lima tahun sekali tersebut. Penyelenggaraan pemilihan umum presiden(Pilpres) periode ini dirasa sangat menarik karena ada intrik-intrik politik yang dilakukan oleh masing-masing kubu guna memperoleh simpatik masyarakat, yang cukup menjadi sorotan adalah cara berkampanye para calon presiden. Seperti kita ketahui, ke dua calon memiliki ke khasan masing-masing, Prabowo dengan kehebatan orasinya dan Jokowi dengan teknik blusukan. Kampanye saat ini sudah jauh lebih maju, tidak lagi dengan membuat panggung di tengah lapangan, mendatangkan artis lalu berorasi di depan masyarakat, tidak juga dengan membagikan kaos bergambar para calon yang menghabiskan banyak dana. Saat ini masing-masing kubu juga melakukan kampanye gencar di social media, hal ini dinilai efektif karena hampir 82% penduduk Indonesia adalah pengguna aktif internet. Kampanye yang di lakukan melalui internet ini cukup menyita banyak perhatian karena seolah membagi public menjadi 2 kubu, Prabowo dan Jokowi. Para pendukung fanatic keduanya tak henti-hentinya memberi kabar seputar calon kebanggaanya padahan ini sangat mengganggu kala orang lain yang tidak atau bukan pendukung dari salah satu calon harus  melihat serangkaian berita yang menurut mereka tidak menarik, selain itu banyak orang yang menjadi saling membenci karena memiliki perbedaan pendapat soal calon yang didukung. Hingga selsainya penyelenggaraan pilpres, perselisihan ini masih tetap ada.

Selain menggunakan media sosial, kampanye pilpres 2014 ini juga melibatkan banyak elemen mulai dari  masyarakat sipil, artis, mahasiswa bahkan para intelektual. Cara ini dapat kita lihat pada Capres nomer urut 2, para pendukungnya menamakan diri sebagai relawan, mereka melakukan berbagai aksi kreatif seperti flash mob, membuat jingle dan mengadakan konser. Tak hanya kubu nomor 2, pendukung dari Capres nomer 1 pun membuat inovasi dalam berkampanye seperti membuat lagu hingga game. Menariknya, pilpres 2014 ini tidak hanya menyajikan kampanye kreatif, namun juga Black Campaign dan Negative Campaign. Sebenarnya, ini bukan hal yang asing dalam dunia perpolitikan, namun  bagi masyarakat Indonesia bentuk kampanye tersebut masih dianggap tabu karena menyerang  lawan dengan membuka aib secara terang-terangan namun tidak dapat dipertanggung jawabkan. Antara black campaign dan negative campaign tidaklah jauh berbeda, mereka sama-sama bertujuan untuk menjatuhkan lawan, bedanya black campaign lebih banyak menyampaikan keburukan calon dengan berbohong, inilah yang menyebabkan black campaign dilarang karena berbau unsur fitnah. Sementara itu negative campaign ialah menyebarluaskan sisi negative dari Sang calon, meskipun fakta yang diberitakan, saya rasa memberitakan atau membicarakan keburukan orang lain(lawan) bukanlah sesuatu yang baik.

Black campaign atau negative campaign tidak mesti disebar luaskan oleh pihak lawan, bisa jadi tim sukses Sang calonlah yang menyebarkannya dengan tujuan mempopulerkan calon atau menggiring opini masyarakat agar mengira penyebarnya dari pihak lawan sehingga mereka merasa berempati pada Sang calon. Penyebaran Black dan Negative campaign ini sangat cepat karena menggunakan media sosial, masyarakat yang membaca langsung menyebarluaskan berita tanpadilihat kebenarannya, inilah yang menyebabkan Black campaign dan Negative campaign sulit dipertanggung jawabkan. Seolah trend baru, setiap orang saat itu mendadak menjadi komentator  ulung, berita-berita mengenai capres menjadi sasaran empuk untuk di komentari, entah negatif atau positif.  Contoh-contoh Black Campaign atau Negative Campaign saat pilpres kemarin diantaranya adalah berita yang disampaikan tabloid obor rakyat dengan judul Capres Boneka”, disana termuat karikatur Jokowi yang sedang mencium tangan Megawati Sukarnoputri, atau cerita yang beredar bahwa Jokowi keturunan China. Berita-berita tersebut dianggap black campaign karena tidak terbukti kebenarannya, sedangkan berita mengenai masa Prabowo lalu yang terkait dengan HAM dapat dikategorikan sebagai negatif campaign karena menceritakan keburukannya. Disinilah kedewasaan masyarakat Indonesia diuji, mereka dihadapkan dengan dua calon yang sama baiknya namun dengan latar belakang yang berbeda.

Selain fenomona black campaign dan negative campaign, politik uang pun masih sulit dipisahkan dari dunia perpolitikan Indonesia. Money politic dianggap sebagai salah satu cara berkampanye yang cukup efektif karena dapat mempengaruhi keputusan masyarakat bahkan di saat- saat terakhir. Meskipun memberi dampak yang cepat dan menjanjikan, politik uang ini tidak dibenarkan adanya karena tidak sesuai dengan asas pemilu kita, yaitu bebas. Dengan adanya politic uang, masyarakat menjadi tidak bebas memilih karena telah terikat dengan “Si Pemberi” uang.

Dari macam-macam bentuk kampanye tersebut, menurut saya sah-sah saja karena dalam dunia politik menjatuhkan dan dijatuhkan adalah hal yang umum, namun menjadi menarik ketika pihak yang dianggap tidak berkepentingan ikut melakukannya seperti ketika penyebaran black campaign di media sosial. Masyarakat diminta dewasa menanggapi fenomena yang terjadi saat itu, jangan terlalu terbawa emosi, saya sendiri miris melihat beberapa pertemanan harus berakhir dan berujung dengan perselisihan karena perbedaan pendapat mengenai capres. Seharusnya dengan banyaknya ragam kampanye masyarakat semakin dimudahkan dalam memilih calon, namun yang terjadi sebaliknya, adanya black campaign membuat bingung karena tidak semua masyarakat bisa membedakan yang mana black campaign, negative campaign atau yang benar-benar kampanye. Bagi mereka yang di daerah, apa yang mereka dengar dan mereka baca maka itulah yang mereka anggap benar padahal belum tentu dengan adanya kampanye-kampanye tersebut. Selain itu keberadaan kampanye - kampanye hitam tersebut menunjukan mental orang Indonesia yang tidak siap kalah. Mereka rela membuat berita yang menjatuhkan lawan dan berisi kebohongan hanya untuk mengamankan posisi.  Peran media juga menjadi sorotan, seharusnya mereka menjadi pihak netal karena mereka menjadi penyalur berita ke masyarakat. Jika medianya saja sudah di politisasi maka kebenaran berita yang disampaikan juga perlu dipertanyakan. Media A mendukung capres X, ia memberitakan tentang kebaikan capres X dan mengekspose keburukan capres Y, begitu pula Media B mendukung capres Y, berita yang ditampilkan hanya seputar kebaikan capresnya, jikalau ada kesalahan pemberitaan akan diminimalisir.

Saya rasa dari penyelenggaraan pemilu 3 tahun terakhir ini, 2004, 2009 dan 2014, periode kali inilah yang paling terburuk. Berbeda dengan sebelumnya, memang pilpres saat ini menuntut masyarakat menjadi lebih kreatif dengan banyaknya inovasi media kampanye, namun adanya black campaign, negative campaign, kecurangan serta intervensi berbagai pihak yang tidak berkepentingan menyebabkan masyarakat menjadi gusar. Seharusnya para tim sukses bisa memberi gambaran persaingan sehat bagi masyarakat, misalnya dengan beradu visi misi, namun yang terjadi sebaliknya, saling membongkar keburukan, menyebar berita bohong yang menyebabkan timbul perseteruan antar calon. Cara-cara tersebut semakin membuat bingung masyarakat, disatu sisi mereka tertarik dengan kampanye kreatif dan visi misi calon namun melihat issue yang beredar entah itu benar atau bohong, mereka menjadi tidak respect lagi pada calon tersebut. Tidak hanya para calon presiden dan tim suksesnya, kita sebagai masyarakat seharusnya juga bisa memilah, mana yang benar dan mana yang bohong, jangan terima semua berita secara mentah dan tidak langsung menyebarkan informasi tanpa tahu sumbernya. Lihat kompetensi calon tidak hanya dari kampanyenya, tapi program ke depanya, bukankah kita juga sudah dibantu oleh KPU yang mengadakan sesi debat capres, setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana cara mereka menghadapi suatu permasalahan dari jawaban-jawabanya.

Sejatinya, setiap orang memiliki kelebihan dan kekuarangan, namun kita sebagai pihak luar tidaklah adil untuk membuka hal tersebut ke muka umum. Fenomena yang terjadi pada penyelenggaraan pilpres 9 Juli kemarin  dilakukan semata - mata demi meraup suara  rakyat agar memilih salah satu calon karena tujuan kampanye ialah menarik suara, mungkin caranya saja yang masih tidak sesuai. Kejadian ini diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi bangasa Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu ke depanya agar lebih baik lagi.

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VCRDxpSSwpc “Penggunaan Internet di Indonesia Capai 82 Juta” diakses pada 25 spetrmeber 2014 pukul 23.59

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun