Ketika aku masih kanak-kanak, aku tak tahu harus berpikir apa. Yang ku tahu, tugasku hanya bermain, belajar dan makan ketika perutku terasa lapar. Jika tak ada makanan yang tersaji di meja, yang ku tahu hanya meminta pada Ibu. Aku hanya tinggal berkata, “Ma, lapar..”. Kemudian sepiring nasi beserta sayur atau lauk tersaji. Aku tak punya pemikiran bagaimana semua itu bisa menjadi ada. Bagiku, Ibuku seperti seorang peri. Ia memberi apa yang aku minta, apa yang aku butuhkan.
Kemudian setelah aku mulai dewasa, dan mulai memahami apa dan bagaimana kehidupan, otakku mulai bekerja. Juga perasaanku mulai berfungsi dengan baik. Dari sini, aku mulai mengerti bahwa hidup adalah sebuah perputaran. Ketika aku mulai menjadi tempat Ibu berbagi cerita suka, duka dan keluhan, aku mulai pandai menjaga perasaan Ibuku. Ketika aku butuh sesuatu, aku tak lagi sembarangan meminta padanya. Aku mulai mengerti keadaan Ibuku secara materi, ketika sekitar tahun 2004 Ayahku terkena PHK di tempatnya bekerja. Keadaan kami secara ekonomi mulai berubah drastis. Ibuku mulai berubah secara emosi. Kami menjadi jarang berbicara hal-hal tentang khayalan. Bila menghadapi sikap Ayah yang pendiam, dan kurang pandai bergaul, aku tak heran Ayah menjadi seolah putus asa. Ditengah usianya yang mulai lanjut, ia merasa tak ada lagi perusahaan yang mau menerimanya bekerja. Sejak itu, kami pindah dari Ibukota ke tempat kelahiran Ibuku di Tegal.
Dari sini, kami memulai kehidupan yang baru. Dengan Ayahku mulai bekerja serabutan di malam hari ikut berjualan dengan pamanku yang seorang pemilik usaha warung tenda, dan ibuku mulai berdagang sembarangan hal. Mulai dari pakaian, sprei sampai sarung bantal dan celana kolor. Dari perpindahan ini, aku menjadi lebih mengerti tentang kehidupan. Mereka yang menjabat sebagai pegawai jauh lebih terpandang dibanding kami yang berpenghasilan sebagai pedagang. Meski aku tak malu, tak jarang aku merasa sedikit minder dengan keadaan orangtuaku. Ketika seorang gadis mulai dewasa, kemudian mengerti tentang cinta, dan mulai bergaul secara pribadi dengan lawan jenis, dan gadis itu diajak bertandang kerumahnya, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah siapa bapaknya, kemudian apa pakerjaan bapaknya? Dan aku, pernah merasakan bagaimana bingungnya menjawab pertanyaan tersebut. Aku hanya mampu diam dan menyimpan bagaimana perasaanku kala itu. Dan ibu, menghibur perasaanku dengan memberiku banyak cerita positif tentang Ayahku.
Ketika banyak hal yang berkaitan dengan sekolah yang aku butuhkan, tak sekalipun aku berani meminta pada Ayahku. Keputusasaan Ayahku, menjadikannya seperti sebuah patung yang percuma saja bila ku mintai sesuatu. Tak pernah Ayahku mencoba menjanjikannya ada, atau sekedar berkata tak ada bila memang keadaannya tak ada uang. Kala itu, aku menjadi murka padanya. Dan Ibu, Ibu tak pernah tinggal diam untuk segala kebutuhanku. Baginya, apa yang menjadi kebutuhanku seharusnya mampu ia penuhi selagi apa yang menjadi kebutuhanku adalah sebuah hal yang wajar.
Air mataku bahkan tak pernah absen menetes ketika ku ingat masa setelah lulus sekolah tiba. Ketika aku membutuhkan modal untuk mencari pekerjaan, Ibuku mencarikanku pinjaman yang dapat dilunasi dengan cara mengangsur setiap bulan ketika aku sudah mempunyai pekerjaan. Ibuku bahwa membawakanku banyak hal untuk kepergianku kala itu. Mulai dari selimut, sabun mandi sampai hal-hal diluar perencanaanku seperti pembalut dan cotton both.
Bagiku Ibuku adalah seorang yang memiliki sepasang sayap malaikat. Ketika aku mulai bekerja dan memiliki penghasilan, satu per satu keinginan ibu mulai bisa kupenuhi. Ibuku yang lugu, Ibuku yang tak lulus sekolah dasar tapi mampu menjadi manager keuangan rumah tangga yang luar biasa. Ia mengusahakan hal-hal yang kubutuhkan dari tak ada, menjadi ada. Ibu adalah guru pribadiku. Aku belajar mengikis gengsi untuk mencukupi hidup darinya. Ibu tak pernah lari menjauhiku ketika aku membuatnya marah karena perbedaan pendapat, Ibu tak pernah memukul, meskipun kadang karena kenakalanku aku pantas dipukul. Aku tahu sesungguhnya Ibuku tak pernah marah, meskipun hobinya adalah marah-marah. Darinya, aku mengerti bahwa hidup adalah untuk berperang melawan keputusasaan. Ibuku memenuhi kekurangan Ayah. Ayahku begitu beruntung memiliki isteri seperti Ibu, dan aku jauh lebih beruntung lagi karena aku terlahir dari wanita yang bersayap malaikat. Bahagia Ibuku adalah surga bagiku, dan murka Ibuku adalah neraka yang kelak menjemputku di alam baka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H