Di Indonesia, pria dengan profesi sebagai pegawai dianggap lebih menjanjikan. Benarkah? Kesejahteraan PNS beberapa tahun belakangan ini yang mulai membaik, ditunjang oleh tunjangan ini itu menjadikan pria yang memiki pekerjaan sebagai PNS jadi incaran para orangtua yang memiliki anak gadis.
Banyak diantara kawan perempuan saya yang orangtuanya lebih mengharapkan puterinya menikah dengan pria yang sudah mapan. Dan pria single yang berprofesi sebagai pegawai inilah yang biasanya dimasukkan kedalam kategori mapan oleh para calon mertua. Saya, mengantungi beberapa cerita dari kawan-kawan perempuan saya yang menuruti atau menolak harapan orangtuanya tentang calon menantu dalam urusan rumah tangga.
Ita, kawan semasa sekolah saya dulu begitu lulus SMK ia langsung menikah dengan guru komputer saya. Pak Koko namanya, biarpun sudah disapa Pak Guru oleh murid-muridnya yang masih belia, Pak Koko ini masih muda. Waktu itu usianya sekitar 24-25 tahunan. Karena masih muda, jadi masih labil dan mudah cinlok. Begitu wisuda, ia lulus tes CPNS dan langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan menjadi tenaga pengajar di sekolah saya dulu. Orangtua Ita ini adalah pengusaha warung Tegal atau warteg di Jakarta. Karena jauh dari pantauan orangtua, Ita ini agak bandel karena sering gonta-ganti pacar, orangtuanya lebih memilih pak Koko untuk menjadi pendamping hidup Ita karena dianggap mampu menganyomi. Sebelum keduanya berubah pikiran, langsung saja dinikahkan. Kemapanan pria pegawai ini dibuktikan dengan hampir lima tahun menikah, mereka tinggal di sebuah perumahan asri di daerah Slawi dan sudah memiliki dua orang puteri hasil pernikahannya. Kalau Ita menikah dengan pria lain, mungkin ceritanya belum bisa ditulis dalam judul ini.
Lain Ita, lain lagi dengan Suci. Sejak masih bersekolah, Uci begitu panggilannya sudah lengket dengan pacarnya yang kontroversional. Lebay memang kalau memakai istilah kontroversional. Bagaimana tidak, sang ibu sebenarnya tidak setuju Uci berpacaran dengan lelaki seusia Uci. Karena Uci ini sedang ditaksir oleh seorang guru sekolah dasar yang juga tetangganya di rumah. Selain usianya lebih matang, keadaan ekonominya tentu lebih mapan. Maklum, Uci ini anak yatim. Jadi sebagai seorang janda, kami kawan-kawannya tentu sudah maklum bila orangtua Uci yang tinggal Ibundanya ini mengharapkan yang terbaik. Benar saja, setelah Uci menikah dengan lelaki pilihannya banyak yang bercerita bahwa hidup Uci jadi menderita. Mirip sinetron yah. Yaa, namanya juga nikah muda, belum punya pekerjaan tetap yang bisa menghasilkan uang dan mengumpulkan tabungan. Jadi wajar kalau sering cekcok. Ditambah sudah ada momongan, hidup jadi terasa lebih sulit karena bertambah satu tanggungan hidup. Jadi yang sering tekor perasaan adalah kawan-kawan yang semasa sekolah dulu dekat dengan Uci soalnya harus jadi sasaran tempat 'gali lubang' yang gak tau kapan mau ditutup dan gak enak kalau mau nagih. Kalau sudah seperti ini, agak susah milih yaa. Orangtua kadang ada benernya juga, bahwa masa depan jauh lebih penting dari sebuah perasaan yang sebetulnya bisa dibentuk. Jadi ingat petuah Ayah saya, bahwa saya sebaiknya menikah dengan seorang pria yang benar-benar mencintai saya. Karena pria kalau sudah cinta, bakal ngelakuin apapun bahkan diluar kemampuannya untuk memenuhi keinginan seorang wanita. Tapi kalau wanita yang mengejar-ngejar pria? Silahkan jawab sendiri.
Dari yang belum nikah juga ada Nana. Nana ini bisa dibilang kawan akrab saya. Dari problem yang dialami Nana, bisa dibilang saya ini lebih beruntung karena orangtua saya gak pandang bulu waktu cari menantu. Yang penting sanggup bekerja keras secara halal, bisa menjadi imam yang baik dan nurut sama mertua sudah cukup. Ibunda Nana yang saya sapa Tante Titi ini seorang guru sekolah dasar. Pergaulannya cukup luas mengingat Tante Titi ini juga ibu Rukun Warga di lingkungan tempat tinggalnya. Keluarganya cukup terpandang dan terkenal sebagai priyayi. Ditambah Nana ini adalah lulusan D3 Kebidanan dan sedang magang di Puskesmas daerah tempat saya tinggal. Di Tegal, seolah sudah umum bila bu Bidan menikah dengan PNS. Jadi wajar banget kalau Tante Titi mengharapkan Nana menikah dengan pegawai atau paling tidak dengan pria yang berprofesi sebagai aparat negara. Polisi atau Tentara. Dianggapnya kalau menantu bukanlah seorang pegawai, sang anak jadi gak bisa makan. Padahal suaminya, gak pernah sekalipun nentuin ingin menantu seperti apa. Keinginan Tante Titi ini justru bikin kawan saya, Nana jadi tertekan dan agak sedikit minder dalam pergaulan. Jadi kalau mau pacaran, meskipun hati rasanya sreg tapi pikiran malah gak tenang. Gimana nich kalau sudah begini? Jadi terkesan pilih-pilih yaa..
Secara tidak langsung, pola pikir orangtua juga sedikit banyak mempengaruhi pola pikir anak. Baik buruknya hasil dari pola pikir yang terbentuk ini, tentunya keinginan wanita sebagai orangtua untuk anak adalah selalu yang terbaik. Tetapi baik bagi orangtua belum tentu baik untuk anak. Demikian pula sebaliknya. Salah-salah, karena ingin memenuhi keinganan orang tua, anak wanitanya justru jadi perawan tua. Maksud baik mencari menantu sesuai kriteria malah membawa bencana. Aaaah.. tidak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H