Ketika itu, sekitar pertengahan tahun 1995. Awal mula aku mengenalnya. Suharni namanya, guru sekaligus wali kelas satuku di sebuah sekolah dasar negeri daerah Buaran, Jakarta Timur. Waktu itu belum banyak guru perempuan yang berkerudung. Setidaknya begitulah ingatanku yang baru berusia enam tahun. Dari banyak guru perempuan yang mengajar di sekolah dasarku, jumlah guru perempuan yang berkerudung bisa dihitung dengan jari. Dan dengan ciri khasnya itu, bu Harni jadi lebih mudah dikenali.
Bu Harni ini begitu lembut, wajahnya teduh keibuan di bingkai sebuah kacamata bening. Minus atau apa, entahlah. Bu Harni ini mengajari aku dan sekitar tiga puluh kawan sekelasku banyak hal. Kami diajak berdoa sebelum memulai dan setelah belajar. Bermain, juga bekerjasama dalam tim. Ia mengajari kami menulis, membaca dan juga menghitung. Ya, menghitung. Tak serumit perhitungan matematis siswa tingkat tinggi memang, tapi ia mengajari kami mengajari perhitungan dasar terutama mengenal angka.
Ah, mengenal angka. Sejujurnya aku malu bila mengingat hal ini. Jika kebanyakan anak seusiaku ini lupa siapa guru mereka di sekolah dasar, tidak dengan aku. Aku begitu mengingat sosok bu Harni. Bukan karena tandatangan serta namanya masih jelas terbubuh di halaman pertama raport sekolah dasar, tapi juga karena sebuah angka yang membuat ingatanku selalu berlari mengingatnya ketika angka ini tersebut.
Waktu itu lepas dari masa perkenalan siswa. Sedikit banyak aku mulai mengenal kawan sekelasku satu per satu. Juga mulai menikmati pengajaran yang diberikan oleh bu Harni. Sampai ketika matematika menjadi mata pelajaran yang hari itu harus dilalui. Dan bu Harni meminta kami menuliskan bilangan angka mulai dari angka 1-10. Dan kira-kira, beginilah bilangan angka yang ku tuliskan kala itu:
1.Satu 2.Duwa 3.Tiga 4.Empat 5.Lima 6.Enam 7.Tujuh 8.Delapan 9.Sembilan 10.Sepuluh
Tapi apa yang terjadi ketika bu Harni menilik hasil pekerjaanku yang duduk di barisan kursi paling depan? Beliau tersenyum. Wajahnya kala itu terlihat memerah tapi aku yakin bukan karena sedang marah. Ia hanya berlalu sambil sebentar menyibakkan kerudung ke atas pundak. Membiarkanku terdiam dalam kebingungan. Kemudian ketika banyak teman-temanku yang mendapat biji seratus atas pekerjaannya, kenapa aku hanya mendapat biji sembilan puluh? Dimana letak kesalahanku? Tetapi aku sedikit lega, setidaknya bukan cuma aku yang mendapat biji sembilan puluh.
Dan di akhir pelajaran, ku dapatkan jawabannya. Dengan sabar dan telaten bu Harni menjelaskan, dimana letak kesalahanku dan beberapa kawanku yang berkasus sama pada bilangan angka 2. Ya, bukan duwa, tapi dua. Meskipun ketika dibaca terdengar sama. Bu Harni menjelaskan padaku apa yang seharusnya dibenarkan tanpa menyalahkan hasil pekerjaanku.
Perpisahanku dengan bu Harni, bukanlah ketika aku merayakan kelulusan sekolah dasar di tahun ke enam. Melainkan ketika aku sendiri baru masuk di bangku kelas dua. Benar-benar misteri angka dua. Setahuku dulu beliau pindah penempatan tugas. Dimana, itulah yang sampai saat ini tak pernah aku ketahui dan ku coba cari tahu.
Bu Harni, terima kasih atas jasamu. Ketika aku murka dengan beberapa guru perempuan yang matreliastis yang menggunakan kesempatan mendapatkan banyak barang yang mereka inginkan dari murid-murid dengan imbalan nilai yang bagus, aku percaya di tempatmu mengajar sekarang, kau menggunakan sebaik mungkin pekerjaanmu untuk tetap bersabar dalam mengajar. Dan aku, tak akan pernah menyesal selalu mengingatmu ketika angka 2 tersebut dari mulutku. Terimakasih, bu Harni..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H