Sejenak aku beradu dengan wajah-wajah baru yang ada dalam terminal kota ini. Wajah-wajah asing khas masyarakat Timur di pulau Jawa. Masih ku cari, belum ku temukan wajah yang selama ini begitu merekat dalam ingatan dan lamunanku. Sekejab kemudian, ada tangan halus dengan jari-jari jenjang menutup kedua mataku. Aku terkejut, tapi tak ku coba untuk meronta. Aku tahu, siapa pemilik dua tangan ini. Tangan yang selama ini khas menjamah tubuh indahku.
Seperti biasa, tak banyak kata yang keluar dari bibirnya. Ah, ia masih tetap 'pelit' bersuara. Langsung ia menggiringku keluar dari Terminal. Disusurinya jalan-jalan yang mulai ku hapal sejak ia mulai mengundangku menemuinya. Memberinya semangat, serta mengurangi rasa rindu yang menggebu di tengah sibuknya jadwal kuliah. Tapi sudah terlalu lama, menurutku. Setelah ia tak lagi pernah mengundangku untuk datang. Harusnya aku tahu kenapa, karena sekarang kedudukanku mulai rendah. Tak lagi sebagai kekasihnya. Aku hanya sekedar bekas-nya saja.
Apalah arti kata bekas, tak lagi menjabat. Tak lagi berkuasa. Demikian pula dengan aku, tak lagi ada kuasa menuntutnya untuk lebih menghargai perasaanku. Entah mengapa, aku begitu tak rela melihatnya dengan kekasihnya. Kekasih yang resmi ia sanding. Yang aku ingat, selagi ia pertama kuliah kami saling bercerita berniat ke pelaminan. Menemani-nya mengenakan toga, menyemangatinya bila kelak ia sudah jadi seorang pekerja.
Tapi waktu itu bertahun yang lalu. Sampai sekarang ia sudah sukses menjadi pengusaha, semua itu tak pernah aku raih. Yang ada, aku hanya bisa menemaninya di sebuah kamar, di atas hangatnya kapuk dan gelap yang membawa nikmat.
***
Pernah suatu ketika, saat aku begitu perlu hangat tubuhnya menenangkanku, ia tak ada disisiku. Ia sibuk dengan wanita yang bagiku ia sedikit lebih beruntung dibanding aku. Aku yang terkadang merasa menang, menang atas apa yang aku dapatkan sesaat bersama pria yang dulu jadi kekasihku.
Dan aku, berniat menyudahi semua ini. Berkali-kali ku katakan, cintaku tak hanya sekedar urusan ranjang. Aku butuh perhatian, aku butuh kepastian yang tak pernah kudapatkan hingga usiaku mencapai seperempat abad.
Aku mungkin terlambat, aku mungkin tak tepat waktu. Tapi niatku, mengakhiri perasaanku menang-ku. Dan di tengah kesadaranku merasa menang, sesungguhnya akulah pecundang atas nikmat sesaat, nikmat yang ku rasakan terlalu dini. Dan aku kembali, dari tempat semula aku berdiri. Aku kini berbalik, melawan apa yang selama ini menjadi kawanku. Tak ada lagi hari lalu, semua sudah berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H