Oleh Fr. Norbert Banusu, CMM, M.Pd
Kepala SMAS Frater Don Bosco Lewoleba
Panorama Pendidikan dewasa ini
Era pendidikan dewasa ini dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0 bahkan kini telah berkembang menuju revolusi industri 5.0. Sejak pertama kali dikemukakan ekonom Jerman Profesor Klaus Schwab dalam bukunya “The Fourth Industrial Revolution”, transformasi dalam pendidikan semakin terasa. Era pendidikan 4.0 menonjolkan inovasi teknologi digital dalam proses pembelajaran yang dikenal dengan sistem siber (cyber system) dan mampu membuat proses pembelajaran berlangsung secara kontinu tanpa batas ruang dan waktu. Berbagai bidang kehidupan mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data yang dikenal dengan nama Internet of Things (IoT). Seiring dengan kenyataan ini, setiap individu, industri bahkan institusi pendidikan perlu melakukan pembaharuan dan perubahan pola pikir (Mindset or Culture), mengasah dan mengembangkan bakat generasi mudanya (Academic or Curriculum Content), dan mengubah model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman ini (Learning Approach). Realitas pandemi Covid-19 hingga saat ini telah menghantar kita menuju transformasi era pendidikan 4.0.
Stephen R. Covey dalam bukunya, “The Leader in Me” (edisi Bahasa Indonesia, 2014), mengungkap tiga tantangan yang selalu akan dihadapi sekolah dalam setiap zaman yakni tantangan Akademis, Budaya, dan Keterampilan Hidup. Menurutnya, setiap sekolah akan selalu menghadapi tantangan yang sama. Hal yang selalu baru adalah tuntutan standar yang dipakai atas setiap tantangan yang ada. Sekolah perlu merancang dan memiliki standar layanan pendidikan yang sesuai dengan realitas tuntutan dan kebutuhan. Dalam perspektif ini semua stake holder perlu membuka cakrawala atas dunia dan tanda-tanda perubahannya. Kita perlu berani menyerap hal-hal baru, tetapi sekaligus memperkuat keunggulan bahkan memberi sumbangan dalam pusaran perubahan dunia.
Think globally, Act locally mengajak kita menyelami era pendidikan global, sekaligus memperkuat kekhasan dan keunggulan kita. Di tengah gencarnya kemajuan dan perubahan yang ditimbulkan, sekolah juga ditantang untuk menampilkan secara tegas prinsip, keyakinan dan kekhasan yang hendak diwujudkan dalam pendidikan. Sekolah ditantang untuk membentuk mindset generasi milenial, gen Z, generasi alpha yang sangat akrab dan mahir dengan kemajuan teknologi informasi. Sekolah perlu semakin jauh merefleksikan kualitas performa generasi pembelajar yang dibangun secara utuh dan kokoh. Kita perlu mendamaikan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (globalitas) dengan pola pikir dan karakter hidup baru secara elegan (lokalitas).
Tantangan Akademis, Budaya dan Life Skills
Ernest R. Hilgard mendefinisikan belajar sebagai proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan. Sedangkan menurut Gagne belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudahnya. Perubahan terjadi karena adanya suatu pengalaman atau latihan. Jadi pada prinsipnya belajar adalah adanya perubahan dari diri seseorang. Sementara itu menurut Knowles, Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Maka dapat disimpulkan bahwa belajar dan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta didik sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik. Pembelajaran bertujuan membantu peserta didik memperoleh berbagai pengalaman yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku peserta didik menjadi bertambah, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Para ahli pendidikan memberikan pemahaman bahwa peserta didik tidak hanya belajar berpikir dan mengetahui sesuatu (learning how to think) dan belajar dalam arti praktik (learning how to do), tetapi juga belajar menjadi dirinya sendiri (learning to be). Belajar tentang sesuatu yang baru berarti belajar sesuatu secara akademis seperti fisika, biologi, kimia, sosiologi, politik dan sebagainya. Sedangkan belajar dalam arti praktik atau ketrampilan hidup berarti mencoba menerapkan perilaku terampil dan kebiasaan tertentu. Peserta didik juga perlu memperoleh pengalaman “belajar menjadi” (learning to be) yang berarti ia mampu melakukan sesuatu sesuai dengan karakter diri dan budaya yang dimilikinya. Pada akhirnya peserta didik perlu belajar hidup bersaudara dalam lingkup sosial (learning to live together).
Generasi pembelajar sebagaimana diungkapkan oleh Andreas Harefa, penulis buku Menjadi Manusia Pembelajar (2000), merujuk tanggung jawab setiap manusia untuk melakukan dua hal penting yakni, Pertama, senantiasa berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial. Kedua, senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan diri sepenuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya.