Minggu ini adalah minggu penasaran di mana saya menanti kabar mengenai burung kakatua dari seorang rekan. Rekan tersebut sementara berusaha mendapatkannya untuk kemudian dipindahtangankan ke saya, tentu saja dalam keadaan hidup karena untuk dipelihara.
Hobi memelihara burung ini jadi suatu kemajuan dalam hidup yang sekarang dibanding beberapa puluh tahun lalu. Disebut kemajuan karena dulu saya (dan teman-teman satu kampung) mencari burung sekedar untuk dibunuh. Memelihara dan membunuh adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Memelihara mengandung unsur menyayangi, menjaga dan ada peluang bersama dalam jangka waktu lama. Membunuh bersifat seketika. Kedengarannya memang horor. Namun apalah arti nyawa seekor burung dibanding manusia yang begitu digdaya, yang merasa superior di hadapan makhluk lainnya di bumi ini?
Sebagai manusia yang merasa sebagai satu-satunya makhluk mulia, kami sama sekali tak merasa bersalah di hadapan burung yang megap-megap, terluka parah menjelang detik-detik kematiannya akibat hantaman batu kecil dari ketapel. Kematian si burung adalah kebahagiaan kami. Semakin banyak burung yang berhasil dijatuhkan adalah tanda kesuksesan dan kebanggaan. Jumlah burung yang didapat - dan biasanya berakhir dengan kematian - berbanding lurus dengan simbol kesuksesan.
Saat masih kanak-kanak dulu, sebagaimana anak-anak Timor umumnya, kami pun sering berkumpul bermain bersama. Permainan pun bukan sembarang permainan namun ada musim-musimnya sendiri. Angin kencang sekitar bulan Agustus merupakan musim bermain layang-layang. Saat musim hujan di mana cekdam penuh dengan air, itulah saat indah untuk mandi rame-rame. Air yang keruh bukan halangan. Di depan anak-anak polos generasi 80-an yang tak paham arti higienis, coklatnya air bercampur kotoran sapi serupa bentangan kolam buatan berbentuk segi empat yang jernih airnya bagi anak-anak generasi sekarang.
Jika eucalyptus atau pohon kayu putih berbunga, itulah waktu yang pas untuk main perang-perangan. Biji pohon itu jadi peluru yang amat pas dijepit di senapan kayu dan bakal melesat kencang bak peluru jika diarahkan pada targetnya. Ini permainan yang berbahaya, sebab jika peluru itu terkena mata fatal akibatnya. Namun saat itu, siapa peduli?
Jika mangga mulai berbuah, itulah saat ketangkasan tangan dalam melempar diuji. Tak pernah mangga masak yang jadi target lemparan. Jika sudah masak, perlakuan yang pas adalah memanjat pohonnya dan memetiknya langsung, bukan? Masih ada musim permainan lainnya seperti kelereng, musim main gambar atau musim main karet.
Satu-satunya permainan yang tak kenal musim adalah bola kaki. Ia dimainkan nyaris sepanjang tahun. Tak ada wasit, tak kenal formasi, tak ada ada sepatu apalagi seragam. Pemilihan posisi berdasarkan bakat atau postur. Yang larinya cepat ditunjuk jadi striker. Yang badannya gempal ditunjuk jadi bek demi menakuti-nakuti (atau menabrak) para penyerang.
Kembali ke burung.
Di sekitar rumah kami terdapat hutan-hutan kecil yang sering disinggahi beberapa jenis burung. Ada beberapa teman yang hobinya fiti burung karena memang mereka terkenal jitu dalam menggunakan ketapel. Perburuan bersama mereka nyaris selalu berakhir bahagia sebab selalu saja berhasil. Burung yang didapat, dibakar lalu dicicipi beramai-ramai. Rupa-rupa burung yang didapat. Ada yang warna bulunya hitam, biru kehijauan, hitam bercampur kuning, coklat, ada yang berparuh panjang dengan jenis berbeda. Sayang, masa fiti burung ini cuma berlangsung singkat karena jelang kelas 5 SD, burung makin sulit didapat seiring pembangunan yang meningkat. Habitat burung terdesak makin jauh dari tempat tinggal kami.
Kami tak tahu bahwa dari berbagai jenis burung itu, ada yang berbiak cepat, ada yang berbiak lambat. Pipit misalnya, sekalipun diburu ratusan ekor setiap tahunnya, itu tak akan cukup membuatnya punah. Beda dengan nuri atau punglor misalnya, mereka relatif sedikit dan lambat berbiak. Mereka pun amatlah menarik minat untuk diburu manusia karena selain lebih besar dibanding pipit, warna bulunya juga lebih berseni di mata manusia.