bola antara Argentina melawan Jerman Barat dimenangkan Jerman Barat dengan skor 1-0. Sergio Goycochea sudah benar menebak arah bola namun tendangan dari Andreas Brehme - sang algojo kidal berambut pirang - sungguh keras. Penalti akurat itu menjadi satu-satunya gol dalam pertarungan final yang sejujurnya, meski membosankan namun menegangkan untuk ditonton.
Saat peluit panjang wasit dibunyikan tanda pertandingan berakhir, saya ikut tepekur sedih manakala melihat Maradona dan rekan-rekannya terduduk lemas di atas rumput. Momen itu terjadi pada final Piala Dunia 1990 yang berlangsung di Italia. Pertempuran dua raksasa sepakSang kapten dari kubu pemenang nampak berlari memimpin rekan-rekannya menyerbu tribun yang disesaki pendukung mereka. Semua bahagia karena bukan saja mencapai puncak tertinggi piramida sepak bola namun juga berhasil menggapai serta mengangkat tinggi-tinggi mahkota bergengsinya. Semua bersorak, semua kegirangan.
Di tengah euforia tersebut, kamera menyorot sesosok pria berjas gelap, memasukkan sepasang tangannya di saku celana berwarna kelabu, berjalan pelan dengan mimik serius. Sesekali matanya diarahkan ke bawah memandang hamparan rumput. Ia sendiri, lepas dari hiruk pikuk para pemain serta segenap kru yang berpesta. Untuk beberapa saat, tak ada yang memedulikannya sama sekali. Namun kameramen tahu benar apa tugasnya. Ia mencari. Propertinya diarahkan ke bagian lain di atas lapangan, lalu menemukan orang nomor satu di jajaran kepelatihan tim juara. Orang itu berjalan elegan melepaskan kegembiraan dengan cara tak biasa. Langkahnya menunjukkan bahwa tunai sudah tugas besar yang diemban yakni merebut trofi Piala Dunia. Kita semua tahu, itu adalah tugas maha besar bukan buatan.
Saya beberapa kali menonton pertandingan-pertandingan klasik Piala Dunia yang disiarkan ulang di televisi nasional, tentunya melibatkan tim-tim besar seperti Belanda dengan Johan Cruyff-nya, Italia dengan Gianni Rivera, Brasil dengan Pele, dan tentu saja Jerman Barat dengan Franz Beckenbauer. Jika dicermati, penampilan nama-nama di atas sungguh dominan. Sepak bola memang olahraga tim namun apalagi yang mesti dikatakan bila di antara sebelas pemain ada satu dirigen yang memimpin orkestra indah paduan suara timnya? Kemampuan mengolah bola  ditunjang kejeniusan dalam membaca permainan sungguh memukau siapa saja yang menontonnya. Sejarah sama sekali tak bohong mencatat nama mereka dengan tinta emasnya, mewariskan kisah heroik nan memukau bagi generasi-generasi selanjutnya.
Satu demi satu nama-nama top itu pergi sebab tak dipungkiri, kita semua dibatasi waktu menikmati dinamika dunia. Hari ini, satu nama lagi memberi kesedihan besar bagi dunia sepak bola. Hari ini, salah satu manusia tersukses sepak bola yang pernah dilahirkan, baik sebagai pemain maupun pelatih, mengakhiri perjalanan waktunya di bumi pada usia 78 tahun. Rasanya, julukan Der Kaizer buat maestro brilian seperti Franz Beckenbauer begitu pas. Kiranya tak ada ungkapan bergengsi lain selain Kaisar Sepak Bola untuk menggambarkan begitu besarnya pengaruhnya dalam sepak bola.
Seperti kesedihan saya manakala melihat Maradona tertunduk lesu kalah di final Piala Dunia 1990, hari ini pun saya tepekur, mengenang salah satu sosok sepak bola terhebat, pernah mengisi hari-hari saya sebagai penikmat bola. Selamat jalan Der Kaiser.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H