Hari ini lumayan heboh mengenai gerhana matahari hibrida. Bagi kita di Kota Atambua-Belu-NTT, fenomena ini cukup terasa karena cahaya matahari tepat tengah hari tadi tak seganas biasanya. Sinar matahari terasa redup karena bulan menutupi sebagian bulatan matahari.
Di saat waktu menunjukkan pukul hampir setengah satu siang, manakala bulan berangsur-angsur menggeser dirinya, membuka sinar matahari untuk kembali utuh menyinari bumi, di saat itulah ayam-ayam sekitar kompleks rumah kami berkokok dengan nyaring. Riuh rendah suara ayam bersahut-sahutan.
Apa yang terjadi?
Rupanya ayam-ayam itu mengira saat itu waktunya mereka untuk berkokok seperti pagi hari. Hal rutin itulah yang selalu dilakukan mereka di kala matahari perlahan-lahan muncul dari balik gelapnya tabir sang malam. Apakah hari ini mereka terperdaya? Tidak. Justru mereka menunjukkan naluri alamiah mereka yang pandai membaca fenomena alam. Ayam - seperti hewan pada umumnya - sangatlah sensitif terhadap setiap perubahan kecil di alam. Tentu saja, ayam potong tak termasuk kategori ini.
Ayam kampung selalu mengais-ngais kakinya untuk mencari makan. Siapa pun yang memelihara ayam di rumahnya pasti akan sedikit terganggu dengan kebiasaan ayam satu ini. Terkadang, garukkan kaki mereka membuat halaman jadi nampak kurang sedap dipandang mata. Ia juga akan selalu mencari dahan-dahan pohon untuk bertengger di saat hari mulai gelap. Ayam betina akan selalu berkotek tak henti-hentinya saat hendak bertelur, meski hanya sebutir. Itulah sederet naluri alamiah mereka yang tercetak dalam DNA-nya.
Begitulah yang terjadi. Ayam hanya berpatokan pada fenomena alam sekitarnya seperti malam dan siang, terangnya matahari dan gelapnya malam. Itu saja. Bagi ayam di belahan dunia mana pun, matahari yang tertutup karena gerhana seperti tadi dianggap alarm untuk berkokok senyaring-nyaringnya. Ayam potong tak bisa seperti itu. Mereka tak sanggup berjalan jauh untuk mencari makan atau melakukan hal lainnya seperti ayam kampung. Mereka tak lagi peka terhadap fenomena alam.
Membaca ini, mungkin kita menertawakan ayam potong. Atau setidaknya menganggap kelas ayam potong di bawah ayam kampung. Namun kita tak sadar, manusia modern seperti kita saat ini pada dasarnya seperti ayam potong. Kita tak bisa lagi membaca tanda-tanda alam. Kita tak peka akan apa yang terjadi di sekitar kita lagi. Naluri kita perlahan mati karena selalu mengandalkan teknologi.
Untuk tidak berpanjang tulis, baiklah saya berikan satu contoh saja. Dulu, saat kita melihat seekor kupu-kupu cantik di dalam rumah, kita mempunyai firasat akan kedatangan tamu dari jauh. Dan sim salabim, lusanya rumah kita didatangi sanak famili dari kota berjarak ratusan kilometer jauhnya. Sekarang, tak perlu kita menatap kupu-kupu dan merasa harus mempersiapkan rumah sebaik mungkin karena bakal ada tamu yang datang. Tak perlu kita berjudi dengan itu. Dari jarak ribuan kilometer, mereka cukup menekan tombol-tombol gawainya mengabarkan bahwa pada hari sekian jam sekian, mereka akan datang ke rumah kita. Semua serba pasti. Saat ini, peran kupu-kupu diambil alih teknologi dalam bentuk gawai. Oleh sebab itu, firasatnya pun tak diperlukan lagi. Begitulah kira-kira.
JAVARIO
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H