Saya mengenal Tabloid BOLA sejak kecil, saat BOLA masih sebagai suplemen Harian Kompas. Selanjutnya BOLA diterbitkan terpisah dan menjadi tabloid olahraga yang selalu dinanti setiap minggu. Karena Atambua tergolong kota kecil yang jauh dari Jakarta, tibanya tabloid kesayangan ini tak selalu tepat waktu.
Dari BOLA, saya mendapat beragam asupan informasi olahraga berbagai cabang. Dengannya, saya mengenal nama-nama petenis semisal Yustedjo Tarik dan Yayuk Basuki, membaca panasnya persaingan Grand Slam antara Martina Navratilova dan Steffie Graf, seolah masuk dalam ketegangan final All England antara Icuk Sugiarto melawan Morten Frost Hansen, atau ikut merasakan kesedihan manakala menatap foto Ellyas Pical terduduk berlumur darah, kalah KO dihajar Khaosai Galaxy.Â
Saya pun jadi tahu nama-nama Grandmaster seperti Gary Karparov, Anatoly Karpov, Bobby Fischer, atau Viswanathan Anand. Pada lain waktu, saya turut bereuforia dalam kebanggaan saat AC Milan menguasai Eropa dengan trio Belandanya lalu mencapai keagungannya--tak terkalahkan hingga 58 pertandingan--sampai-sampai dijuluki Tim Impian.
Selain beberapa hal tersebut di atas, masih ada lagi ulasan keren Rob Hughes, rubrik Catatan Ringan-nya Sumohadi Marsis yang renyah dan bergizi, komik Sepakbolaria yang tak pernah kekeringan ide dari Nunk, dan banyak lagi aneka info olahraga yang up to date.
Kumulatif informasi itu memenuhi isi kepala kecil ini, dan sebagiannya tersimpan di alam bawah sadar. Artinya, ada bagian yang sudah dihafal luar kepala, secara otomatis terprogram di otak untuk bisa dibicarakan kapan saja dalam suasana apa saja. Bagaimana tepatnya otak melakukan itu masih merupakan misteri, namun kita semua tahu bahwa sistem pengingatan kembali otak luar biasa efisien, kecuali ketika kita mencoba mengingat kembali di mana meletakkan kunci motor.
Bisa dibilang, saya adalah "anak asuh" dari BOLA. Pada masa belum ada internet, Tabloid BOLA, majalah Bobo, dan juga koran semisal Kompas menjadi "medsos" kami, tetapi sifatnya tidak interaktif. Untuk mendapatkan berita, orang-orang menonton televisi, mendengarkan radio, membaca majalah, koran, atau tabloid.
Menurut pemikiran saya saat itu, penting untuk "mengkurasi" beberapa edisi Tabloid BOLA yang terbit pada peristiwa-peristiwa olahraga penting, dan yang saya anggap penting untuk dikenang selalu adalah beberapa turnamen Piala Dunia. Saya sempat membundel lalu menyimpannya namun entah bagaimana ceritanya semuanya hilang. Padahal, saya ingin momen-momen penting itu akan selalu bisa dibaca lagi kapan saja di waktu-waktu mendatang.Â
Maksud saya, bundelan itu berfungsi sebagai pengingat sebab memori otak tak bisa mengingat semuanya. Mengandalkan ingatan semata merupakan kesia-siaan belaka sebab hidup makin kompleks dengan implikasinya adalah otak dihujani begitu banyak informasi yang juga kompleks.
***
Seperti kita ketahui bersama, literatur-literatur tertulis dicipta untuk membantu menyimpan informasi agar lestari. Begitulah yang terjadi manakala saya membundel lembaran-lembaran kertas benama BOLA. Kini saya tak perlu repot berpikir untuk membuat bundel-bundel lagi, kliping atau semacamnya. Majalah dan tabloid satu per satu tergulung zaman, kalah cepat dengan internet, tak lagi dilirik dan akhirnya tutup.