Dalam kerangka pembangunan kualitas sumber daya manusia, permasalahan stunting mempunyai dampak yang sangat merugikan baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi produktivitas ekonomi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, stunting memiliki dampak terhadap perkembangan anak, menghambat perkembangan sel otak yang akhirnya menyebabkan tingkat kecerdasan menjadi tidak optimal. Hal ini berarti bahwa kemampuan kognitif anak dalam jangka panjang akan lebih rendah dan akhirnya menurunkan produktivitas serta menghambat pertumbuhan ekonomi.
Berbagai langkah ditempuh pemerintah untuk menangani ini, salah satunya di level kabupaten adalah melaksanakan 8 Aksi Konvergensi. Mengenai hal ini, pada hari Rabu, 26 Oktober 2022, bertempat di Aula Susteran SsPS Atambua Kabupaten Belu, dilaksanakan Aksi ke-7 dari 8 Aksi Konvergensi yaitu Publikasi Data Stunting Tingkat Kabupaten Belu Tahun 2022. Dinas Kesehatan Kabupaten Belu sebagai penanggungjawab kegiatan telah melakukan pengukuran status gizi pada balita pada bulan penimbangan Agustus. Hasil pengukuran itu diinput dalam aplikasi e-PPGBM by name by address.
Kegiatan dibuka Wakil Bupati Belu, Drs. Aloysius Haleserens, MM selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting Kabupaten Belu, di mana saat itu beliau memberikan penghargaan kepada dua orang Camat yaitu Camat Tasifeto Barat dan Camat Lasiolat. Penghargaan untuk Tasifeto Barat dikarenakan angka stuntingnya terendah sedangkan untuk Lasiolat sebab angka stuntingnya paling tinggi. Penghargaan yang diberikan untuk yang terendah merupakan hal wajar tetapi untuk Lasiolat yang tertinggi menurut Wakil Bupati merupakan motivasi demi memperbaiki diri, jika tidak kita katakan sebagai sarkasme. Hal ini mesti kita hadapi dengan senyuman saja. Wakil Bupati menuntut agar para Camat dan Kepala Puskesmas bahkan mesti mengetahui detail-detail kecil mengenai stunting di wilayah kerjanya masing-masing seperti angka-angka yang terkait dengannya.
Kegiatan ini mengetengahkan materi presentasi dari Kepala Dinas Kesehatan drg. Ansila Eka Mutty dan Plt. Kepala BP4D Rine Rene Baria, ST. Dari pemaparan, diketahui bahwa prevalensi stunting Kabupaten Belu tahun 2022 sebesar 13,7%. Angka ini didapat setelah dilakukan pengukuran di wilayah kerja 12 kecamatan, 81 desa/kelurahan, dan 17 Puskesmas. Jika dilihat grafiknya, cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mari lihat data tahun 2020 (21,2%) dan tahun 2021 (17,9%), lalu bandingkan, untuk tahun ini terlihat ada penurunan 4,2% dibanding tahun lalu.
Dalam diskusi, ada gugatan-gugatan mengenai soal koordinasi, metode maupun pelaksanaan dalam upaya-upaya pencegahan maupun penanganan stunting di wilayah kerja masing-masing. Diakui, memang banyak aspek yang perlu diperbaiki pada soal-soal di atas. Namun begitu, perlu ada ruang apresiasi yang diberikan kepada segenap elemen yang terlibat. Well, bukankah dalam situasi negatif pun, kita mesti melihat secercah sinar positif meski itu kecil?
Yang pertama, melihat data sasaran 18.101 balita yang ditimbang alias 100%, menunjukkan bahwa ada keberhasilan dalam menggerakkan sasaran. Ini persoalan yang tak bisa dibilang mudah pada akar rumput mengingat belum semua masyarakat punya kesadaran akan pentingnya kegiatan penimbangan. Cerita mengenai kampanye-kampanye penyadaran rutin yang sifatnya persuasif, dijemput langsung di rumah sampai yang ekstrem seperti "ancaman" akan pengurusan administrasi mewarnai cerita di balik penggerakkan ini. Yang kedua, melihat tren angka stunting yang selalu menurun menunjukkan bahwa semua elemen bekerja. Kita tidak diam-diam saja. Angka yang muncul ini bukanlah suatu kebetulan belaka. Memang benar bahwa rapat-rapat formal TPPS minim dilakukan namun tanpa disadari, semua memiliki kesepahaman yang sama dalam melihat stunting sebagai masalah bersama. Memang belum ideal seperti yang diharapkan namun kita menuju pada arah yang benar. Kita berada pada rel yang tepat. Dalam dokumen RPJMD termuat target angka stunting Kabupaten Belu sebesar 12% tetapi dalam berbagai kesempatan pertemuan Gubernur dengan para Bupati, sudah dicapai kesepakatan untuk target setiap kabupaten sebesar 10% pada tahun 2024 nanti. Melihat tren penurunan serta antusiasme pada setiap level pemerintahan, kita mesti optimis target bisa dicapai, tentunya disertai dengan sikap, hasrat, dan kebijakan tepat.
Dengan terbitnya Perpres Nomor 72 Tahun 2021, persoalan stunting tidak hanya dilihat pada balita semata namun sejak sebelum menikah. Lingkup persoalan ini mesti diselesaikan dari hulunya. Untuk melihat penyebab stunting ini, pihak BKKBN Provinsi NTT melakukan kerja sama dengan Universitas Timor. Kerja sama itu menghasilkan penelitian dengan judul Faktor Sosial Ekonomi, kesehatan & Lingkungan Terhadap Probabilitas Stunting Anak Balita di Kabupaten Belu dan TTU. Penelitian tersebut mengambil sampel 300 rumah tangga yang memiliki anak kurang atau sama dengan 5 tahun. Penelitian itu memakai 3 variabel yakni sosial ekonomi, kesehatan dan lingkungan serta variabel kependudukan. Jika dielaborasi, hal-hal yang menjadi pertanyaan adalah soal pendapatan keluarga, pekerjaan istri, pendidikan istri & suami, budaya (sosek), soal sanitasi, pola asuh, asupan gizi, penyakit infeksi (kesehatan & lingkungan), serta soal seperti jarak kelahiran, Â jumlah anak, Â usia kawin pertama dan usia saat melahirkan (kependudukan).
Dari hasilnya terlihat bahwa soal pendapatan keluarga, pendidikan, usia kawin pertama, jumlah anak dalam keluarga, pola asuh, status gizi, penyakit infeksi, dan soal sanitasi mempengaruhi probabilitas stunting. Berikut saya kutip kesimpulan tertulisnya: hasil analisa deskriptif dan inferensial menunjukkan bahwa variabel sosial, ekonomi, kesehatan dan lingkungan memberi pengaruh terhadap probabilitas  kejadian stunting yang dialami oleh setiap anak, meskipun besarnya pengaruh atau kontribusi setiap variabel bebas bervariasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan data yang menunjukkan Desa Rafae mempunyai angka stunting tertinggi di Kecamatan Raimanuk. Kita tahu, Rafae merupakan salah satu desa dengan potensi sumber air amat minim, sesuatu yang berhubungan erat dengan sanitasi. Meski begitu, soal ketersediaan air juga bukan satu-satunya faktor penyebab. Ini terlihat dari angka stunting di Kecamatan Lasiolat yang tinggi meski secara geografis, wilayah ini berada di kaki gunung Laka'an yang notabene banyak potensi sumber air dan jaringan perpipaannya. Ini juga menjelaskan kenapa wilayah Dilumil di Kecamatan Lamaknen, meski akses air minumnya tidak susah dan banyak lahan sawahnya, namun memiliki angka stunting yang juga tinggi. Demikianlah, kompleksitas persoalan stunting ini tidak bisa diselesaikan satu pihak saja tetapi melibatkan peran berbagai pihak atau istilah kerennya lintas sektor. Dan penyelesaiannya tak bisa memakan waktu 1-2 tahun.
Sudah banyak penelitian menunjukkan bahwa Pemberian Makanan Tambahan (PMT) memberi dampak signifikan, tetapi merujuk hasil penelitian pihak Unimor terlihat bahwa PMT hanya satu ruang solusi dari banyak ruang solusi lainnya. Kebijakan/program pengentasan kemiskinan, penyediaan air minum, sanitasi, dan pendampingan terhadap sasaran harus terus ditingkatkan dengan hasil akhirnya program PMT makin berkurang. Logikanya, jika semua aspek pendukung keluarga ideal, probabilitas balita stunting pun makin berkurang, yang membuat jumlah balita yang diberi PMT makin sedikit. Merujuk pada Perpres, sasaran stunting bukan lagi sejak balita tetapi sejak calon pengantin/calon PUS. Yang dibicarakan bukan soal penanganannya tapi bagaimana mencegah.
Oleh sebab itu, penyediaan Data Keluarga Berisiko Stunting mutlak diperlukan sebagai salah satu rujukan intervensi. Data keluarga berisiko stunting merupakan salah satu prioritas yang diamanatkan Perpres. Dengan data yang valid, hasil yang didapat pun tepat sasaran. Hasil penelitian Unimor, data publikasi stunting e-PPGBM Dinkes serta data keluarga berisiko stunting dari DP2KB merupakan rujukan penting bagi Pemerintah Daerah Belu dalam merumuskan kebijakan dan penganggaran yang tepat demi mempercepat penurunan stunting.