Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendidikan Moral Pancasila dan Makna Moral yang Berubah

3 Juli 2022   15:02 Diperbarui: 11 Januari 2023   19:00 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada situasi di mana kita mesti menyadari bahwa sesuatu telah berubah.

Saat saya bersekolah SD hingga SMA, ada mata pelajaran yang namanya Pendidikan Moral Pancasila (PMP), di mana bahan ajarnya mencakup nilai-nilai moral, etika dan tata hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini pun masih diperkuat dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4, yang isinya indoktrinasi akan Pancasila, UUD 45 dan GBHN. Penataran P4 sifatnya wajib serta membutuhkan puluhan jam belajar-mengajar.

Pemerintah menganggap bahwa sangat penting bagi warga negara Indonesia untuk memahami hal-hal di atas sehingga dirasa perlu untuk mendirikan lembaga khusus yang memayungi kegiatannya. Lembaga itu jika disingkat, disebut dengan BP7. Saya masih ingat betul satu poin pengajaran: Pancasila bukan untuk dihafal saja, tetapi juga harus dihayati dan diamalkan. Generasi yang telah beruban pasti juga tahu.

Lalu apa yang berubah?

Dalam pelajaran PMP yang pada intinya mendidik moral kami para siswa ini, tak pernah disebutkan bahwa moral hanya menyangkut seks. Banyak aspek mengenai moral, yang tentu saja semua berdasarkan pada lima sila pancasila dengan tiga puluh enam butirnya. Definisi moral dalam berbagai literatur pun tidak secara spesifik menyamakan moral adalah semata soal seks.

Rasanya aneh jika saat ini, soalan moral hanya dikaitkan dengan seks. Jika ada seorang tokoh yang arogan, yang berani main kekerasan demi hasrat politiknya, ia beruntung tak dikait-dikaitkan dengan soal moral. 

Sampai di sini, moralnya cenderung dianggap tak bermasalah. Tetapi jika ada seorang pejabat yang berkompeten di bidangnya, ia cerdas, amat bertanggung jawab akan tugas lalu tersandung masalah dengan lawan jenis, publik cenderung mudah memvonis bahwa perbuatannya tidak bermoral. Hal-hal lain dalam dirinya, meski positif, tidak dianggap lagi.

Media massa akan dengan antusias menulis judul bahwa pelecehan seksual atau perselingkuhan adalah perbuatan amoral, sedangkan pada kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang, tak akan ditemui satu kata pun yang menyatakan bahwa itu perbuatan amoral.

Sekarang jaman medsos. Membuat akun palsu lalu memfitnah, memaki atau menelanjangi bahkan menbuka aib orang mungkin dianggap perjuangan demi kebenaran meski sejatinya itu adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai moral.

Moral nampaknya mengalami penyempitan makna. Mari kita secuil melihat apa yang kami pelajari dulu. Salah satu butir Pancasila bunyinya "suka bekerja keras". Ini salah satu nilai moral yang ditanamkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. 

Kenapa sekarang, orang-orang yang tak suka bekerja keras dengan tupoksi yang diembannya tidak dianggap punya moral yang kurang baik? Atau pada butir "menghormati hak orang lain". Kenapa orang-orang yang suka memakai/memanfaatkan tenaga orang lain secara semena-mena, mengambil hak orang lain, korupsi, tidak dianggap amoral?

Hal yang nampaknya sepele ini jadi tak sepele lagi mengingat dampaknya. Kita akan menjadi heboh, mengutuk habis-habisan pelaku pemerkosaan atau perselingkuhan, kita akan dengan mudah memvonis bahwa mereka sungguh bejad dan tak bermoral. Perbuatan mereka amoral.

Kita mengetuk palu bahwa itu amoral, tanpa sadar permisif pada pelanggaran nilai-nilai moral yang lain. Hal ini karena kita tak mengatakan bahwa itu amoral! Tak heran, orang korupsi, melakukan tipu daya politik, melakukan jual beli suara, membeli hukum, menyuap institusi hukum dll menjadi suatu fenomena umum biasa. Hal semacam itu disebut perjuangan hidup.

Sebuah kata sederhana yang mampu mengubah mindset bangsa. Kita kejam pada kasus mengenai seks, sedangkan begitu permisif pada hal-hal yang yang melanggar nilai-nilai moral lain yang termaktub dalam falsafah bangsa. Kita telah melenceng jalan.

Tulisan sederhana ini bukan untuk membela person yang berselingkuh, memperkosa, atau membuat affair. Bukan. Tak ada unsur permisif pada hal-hal semacam itu. Tulisan ini mengajak untuk memperlakukan secara adil dan seimbang nilai-nilai moral yang terkandung dalam butir-butir Pancasila, tanpa menganaktirikan satu dengan lainya.

Mungkin dengan kata lain, kita mesti kembali pada Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, sebuah kalimat yang sangat berbau Orba namun nampaknya kemudi mesti dibelokkan sedikit ke arah sana.

JAVARIO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun