Kurang lebih dua pekan terakhir, Kota Atambua diramaikan turnamen sepak bola bertajuk Liga Pendidikan Indonesia Memperebutkan Piala Wakil Bupati Belu IV Tahun 2022. Kegiatan ini diikuti 27 tim putra dan 10 tim putri dari sekolah SMA/SMK yang tersebar di Kabupaten Belu.
Suasana sore hari Kota Atambua jadi lebih ramai daripada biasanya dengan titik keramaian adalah Lapangan Umum dan Stadion Haliwen. Ya, panitia pelaksana memilih dua tempat itu menjadi ajang bertanding.
Sepengamatan saya, jumlah penonton pada tiap titik tiap pertandingan menembus 3 digit. Ini jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran kota kecil seperti Atambua.
Di situ ada beberapa kategori penonton. Ada pendukung tim yang sementara bermain, tentu saja. Tak sedap rasanya jika teman, kakak, adik, anak, atau keponakan tampil bermain tanpa kita turut memberi dukungan langsung.
Ada yang ke lapangan karena hobinya memang menonton bola. Mereka-mereka ini punya passion yang besar mengenai bola kaki, apa pun tingkatannya.
Menonton bola merupakan sesuatu yang wajib dilakukan, baik itu lewat siaran televisi maupun langsung hadir di lapangan. Sepak bola adalah agama kedua buat mereka.
Selain itu, ada yang ingin ke lapangan hanya untuk jalan-jalan semata, ada yang kebetulan lewat dan singgah, ada yang berbisnis makanan ringan, transportasi (ojek), bahkan ada juga yang alasannya mencari keramaian karena sekian lama terkungkung sepinya rumah. Macam-macam alasannya, seperti alasan Anda di kala tertangkap basah.
Level kebahagiaan manusia itu bermacam-macam. Semasa balita, kebahagiaan sudah bisa didapatkan dari permainan-permainan yang tak kompetitif. Kita sudah bahagia hanya dengan mendorong mobil-mobilan. Kita sudah terpingkal-pingkal hanya dengan gurauan cilukba. Kita sudah bisa tertawa riang hanya dengan mendorong kursi ke sana kemari atau melempar-lempar sendok makan.
Seiring bertambah usia, permainan naik levelnya menjadi siapa yang paling kuat, siapa yang paling cepat, siapa yang paling banyak, atau siapa yang paling tangguh. Makin kompetitif. Permainan yang dilakukan tak semata senang-senang tetapi untuk mencari siapa jawaranya.
Semasa kecil, saya dan teman-teman bermain kelereng untuk kemudian diadu kelereng siapa yang paling banyak. Kami bermain layangan lalu berlomba menaikkan layang-layang setinggi-tingginya.