Mohon tunggu...
Nora Oya
Nora Oya Mohon Tunggu... Buruh - “If you think you are too small to make a difference, try sleeping with a mosquito.” - Dalai Lama

rakyat biasa, ibu seorang putra, yang pecinta binatang, pemerhati budaya dan pecinta wastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Serpih Keberagaman Dalam Rumah Ibadah

10 Desember 2019   10:14 Diperbarui: 12 Desember 2019   11:17 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: penuntundjalanku.wordpress.com

*****

Dalam kebaktian minggu ini, dekat rumah di Jakarta, saya mengamati dan sempet tercenung di tengah khotbah. Buat saya melihat ketekunan para jemaat datang ke gereja memang mengharukan. Tua muda, kaya miskin. Dari yang mulai memakai sandal jepit hingga high heels. Dari yang super rapi dengan rambut disasak, hingga yang cuma diikat karet gelang. Dari baju yang seperti mau ke pesta hingga celana jogging. Dari yang berbadan sterek hingga yang berkursi roda. 

Ada suami yang datang dengan celana jeans dan sepatu kets sedang istrinya memakai celana legging dan high heels. Tidak perlu sama bahkan senada pun tak penting. Perbedaan pun terakomodir. Tidak ada keharusan harus sama. Tidak pula harus seragam.

Ada ketaatan dalam diri mereka untuk datang ke rumah ibadah,seperti halnya orang-orang beriman dari ajaran lainnya. Saya masuki banyak gereja baik di daerah maupun kota-kota besar lainnya selain Jakarta. Dan dimana-mana keberagaman itu ada.

Yang menarik adalah bagaimana mereka mau datang ke gereja tanpa paksaan atau tanpa 'ketakutan' adalah sesuatu yang patut dihargai. Tidak ada yang melarang apalagi menghardik, melirik pun tidak jika anda datang dengan rok mini misalnya, atau dengan celana pendek yang benar-benar pendek. Sama jika anda memakai tutup kepala (kerudung) pun anda tidak akan dilarang masuk. Ada perasaan nyaman walau pun misalnya anda salah kostum hari itu. 

*****

Maafkan saya yang di didik dan dibesarkan untuk kritis. Seperti itu juga kemudian saya membesarkan anak saya. Jadi seringkali di  gereja, saya apalagi anak saya, mendapati para pendeta yang berkhotbah di mimbar kurang logis. Pendeta juga manusia mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-beda. Bukan saya mengecilkan para gembala itu.

Secara ilmu tentu tak terbantahkan, mereka pasti jagonya. Tetapi kadang mereka kurang melakukan observasi sehingga ada kesalahan-kesalahan kecil dalam memberikan contoh atau perbandingan atas topik topik yang dibahas, dan itu cukup mengganggu. Tetapi sekali lagi maklum itu ada.

Lepas dari kekurangan pada beberapa pendeta. Tetapi keharmonisan memaklumi dan menyatukan keberagaman pribadi , karakter maupun selera berpakaian harus diakui bahwa  gereja cukup sukses. Saya lihat hampir diseluruh gereja mempunyai kemampuan menghargai berbagai macam karakter jemaatnya. Walaupun di beberapa kota kecil atau beberapa gereja yang 'kuno' umumnya para jemaat datang dengan sikap yang kaku dan pakaian yang rapi sekali. Seperti nilai-nilai yang dianut oleh nenek kakek kita. 

Pada beberapa gereja memang terasa agak kaku dan tradisional, karena dibelakukan aturan-aturan yang tidak akomodatif. Namun di banyak gereja lainnya sudah lebih luwes. Misalnya membiarkan anak-anak berlarian selama tidak mengganggu kebaktian  dan dalam pengawasan orang tua agar tidak bertingkah berlebihan. Atau membiarkan anak-anak muda berpakaian sesuai zamannya.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun