Masyarakat Bali yang kita kenal sekarang adalah masyarakat petani yang hidup di kerajaan agraris. Bali dikenal juga dengan areal sawahnya yang luas dan cantik. Bahkan sistem Subak milik orang Bali yang berperan dalam pengaturan pengairan dikenal sebagai salah satu warisan budaya yang diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia.
Namun ada yang kurang kerap dibahas dan disebut-sebut yaitu, bahwa ternyata sudah sejak abad ke-10 Masehi, masyarakat di Bali mempunyai aturan yang berkaitan dengan transportasi di laut.
Kali ini kita bahas yuk mengenai hukum laut yang berlaku di Kerajaan Bali Kuno. Hal mana tersurat dalam prasasti yang ditemukan di Desa Sembiran serta dikenalnya Hukum Adat Tawan Karang. Seorang peneliti senior dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo pernah membahasnya. Saya coba ceritakan isi penelitian atas dokumentasi yang dilakukan oleh Bambang Budi Utomo.
Hukum Adat Tawan Karang
Sejak abad ke-18 dan 19 di Bali terdapat banyak kerajaan, beberapa di antaranya tidak berada di tengah daratan, tetapi justru berbatasan dengan laut. Raja-raja yang wilayahnya berbatasan dengan laut pernah membuat kesepakatan hukum adat yang dikenal sebagai Hukun Tawan Karang. Hukum ini berlaku apabila tiap kapal asing yang terdampar, maka kapal beserta isinya menjadi hak milik penguasa Bali.
Contoh kasus pada tahun 1844. Ada kapal Belanda terdampar di Pantai Sangsit yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal dan isinya pun di sita dan di tawan. Belanda murka dan tidak terima lalu mengirim Asisten Residen dari Banyuwangi untuk membuat perjanjian penghapusan hukum Tawan Karang dan sekaligus pengakuan terhadap kekuasaan. Tetapi Raja I Gusti Ngurah Made dan Patih I Gusti Jelantik Gungsir menolak. Belanda lalu mengirim pasukan menyerbu Buleleng, penyerbuan terjadi hingga sebanyak 3 kali, yaitu pada 1846, 1848, dan 1849.
Pada tahun 1849, rakyat Bali di bawah pimpinan I Gusti Jelantik melakukan perang puputan (habis-habisan). Lagi pada tahun 1906, Belanda menyerang dan berusaha menguasai Kerajaan Badung yang masih melaksanakan hukum adat Tawan Karang. Raja dan rakyat Kerajaan Badung lagi-lagi tidak tinggal diam dan terus melawan habis-habisan.
Prasasti Sembiran adalah kumpulan sepuluh prasasti lempeng tembaga, yang ditemukan di desa Sembiran, Tejakula, Buleleng, di pulau Bali bagian utara. Ke-sepuluh lempeng prasasti tadi memiliki penanggalan, yaitu antara 922 hingga 1181 Masehi, sehingga kalau dihitung meliputi kurun waktu lebih dari 200 tahun. Sebagian prasasti ditulis dalam Bahasa Bali Kuno, sedangkan sebagian dari masa yang lebih muda ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno.
Prasasti Sembiran adalah prasasti yang memberikan informasi terawal mengenai keadaan daerah Julah dan sekitarnya.
Tersebutlah bahwa; pada tahun Saka 844 atau 24 Januari 923 Masehi, Sang Ratu Sri Ugrasena bersama-sama para pejabat tinggi kerajaan mengadakan sidang dengan para Penghulu Desa Julah bertempat di pendapa Istana Singhamandewa.