Padang rumput seluas mata memandang, adalah ciri khas Sumba. Matahari terik dan kuda liar berlarian kesana kemari adalah juga Sumba. Tenun ikat dengan corak dan warna tertentu juga Sumba.
Sumba dan tenun adalah kesatuan tak perpisahkan. Seperti juga Sumba dan kuda sandelwoodnya. Hari ini saya ingin berbagi cerita mengenai tenun Sumba.
Disebuah desa bernama Lambanapu di wilayah Sumba Timur saya beruntung dapat berkunjung menemui bapak satu ini. Penggiat tenun ikat Sumba dengan pewarna alami.
Umbu Kornelis Ndapakamang, namanya. Seharian itu saya sempatkan menunggui beliau dan timnya mengerjakan tenun. Saya melihat tahapan satu per satu proses pembuatan tenun.
Menenun
Pekerjaan menenun tenun ikat di Sumba yang rumit dimulai dari istilah Pahudur, yaitu pekerjaan memintal kapas menjadi benang. Walaupun saat ini ada dua pilihan untuk mendapatkan benang yaitu membeli benang jadi di pasar, baik yang sudah memiliki warna maupun yang belum. Atau pilihan yang lain adalah membuat benang pintalan dari kapas (Kamba).
Gulungan kapas putih yang telah siap tadi kemudian mulai dipintal dengan menggunakan alat yang disebut Kindi. Lalu proses menggulung benang pintal (kabukul) dilakukan dengan menggunakan tangan dan lutut, atau menggunakan alat yang diberi nama pepangu.
Berikutnya adalah proses mengatur benang-benang yang berbentuk bola menjadi benang lungsin atau benang bakal tenunan. Prosesnya dua orang akan mengatur merenggangkan benang pada bingkai yang disebut sebagai wanggi.
Orang yang berada di sebelah kiri bertugas untuk meletakkan dengan cantik benang secara tumpang tindih. Tugas orang di sebelah kanan hanya memutar dan menyorongkan benang pada orang yang sebelah kiri.
Pekerjaan ini biasanya dilakukan dalam durasi hingga delapan jam jika tanpa berhenti. Ukuran untuk bakal kain selimut (hinggi) dan sarung (lau) berbeda. Demikian selanjutnya dengan teknik yang rumit terus dilakukan hingga kain selesai di tenun.