Mohon tunggu...
Nor Anisa Rahmah
Nor Anisa Rahmah Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Jember

Saya adalah seorang mahasiswa dan saya ingin lebih banyak menulis dalam blog ini

Selanjutnya

Tutup

Financial

Loan To Value (LTV), Menimbang Keuntungan dan Risiko dalam Ekonomi Masyarakat

17 November 2024   21:28 Diperbarui: 17 November 2024   22:59 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Corporate Finance Institute

Loan-to-Value (LTV) adalah istilah yang kerap muncul dalam diskusi ekonomi dan kebijakan perbankan. Meski terdengar teknis, pengaruhnya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang tengah berusaha memiliki rumah atau aset properti lainnya. Kebijakan LTV memainkan peran kunci dalam mengatur akses terhadap kredit perbankan, namun juga membawa dampak besar terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam artikel ini, saya akan mencoba membahas kebijakan LTV dari sudut pandang masyarakat umum dan dampaknya terhadap perekonomian.

Apa Itu LTV dan Mengapa Penting?

LTV adalah rasio yang digunakan untuk menentukan jumlah pinjaman yang dapat diberikan oleh bank berdasarkan nilai aset yang diagunkan, seperti rumah atau kendaraan. Sebagai contoh, jika nilai LTV ditetapkan pada 85%, maka peminjam hanya perlu menyediakan uang muka sebesar 15% dari harga aset, sementara sisanya dibiayai oleh bank. Kebijakan ini dirancang untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan kredit, khususnya dalam sektor properti. Pelonggaran LTV sering digunakan sebagai alat kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika akses kredit menjadi lebih mudah, masyarakat lebih terdorong untuk membeli rumah atau properti, yang pada gilirannya meningkatkan aktivitas ekonomi di sektor konstruksi, perbankan, hingga industri pendukung lainnya. Namun, seperti kebijakan ekonomi lainnya, LTV bukan tanpa risiko.

Dari perspektif masyarakat, pelonggaran LTV memberikan angin segar, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang ingin memiliki rumah. Dengan uang muka yang lebih rendah, semakin banyak keluarga yang mampu mengakses fasilitas kredit perbankan. Kemudian bagi ekonomi secara keseluruhan, kebijakan ini dapat merangsang pertumbuhan. Peningkatan permintaan properti tidak hanya menguntungkan sektor konstruksi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Ketika masyarakat memiliki rumah, mereka cenderung berinvestasi dalam perabotan, renovasi, dan pengeluaran lainnya, yang semuanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dengan mempermudah akses kredit, LTV juga mendorong inklusi keuangan. Banyak masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses ke perbankan dapat mulai membangun riwayat kredit melalui pinjaman properti. Ini menjadi langkah awal yang penting dalam mengintegrasikan lebih banyak orang ke dalam sistem keuangan formal.

Meskipun LTV memberikan kemudahan, kebijakan ini juga membawa risiko, baik bagi individu maupun ekonomi secara keseluruhan. Ketika pelonggaran LTV mendorong lebih banyak orang untuk mengambil pinjaman, ada kemungkinan mereka tidak sepenuhnya memahami kemampuan keuangan mereka. Ketidaksiapan menghadapi beban cicilan dalam jangka panjang dapat memicu masalah keuangan pribadi, seperti gagal bayar dan kredit macet. Di tingkat makro, lonjakan permintaan properti akibat pelonggaran LTV dapat menyebabkan inflasi harga properti. Ketika harga rumah meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat, kelompok berpenghasilan rendah justru semakin sulit membeli rumah. Hal ini menciptakan kesenjangan yang lebih besar dalam akses terhadap kepemilikan properti. Selain itu, pelonggaran LTV berpotensi meningkatkan risiko sistemik dalam sektor perbankan. Jika terlalu banyak pinjaman diberikan kepada individu yang tidak memiliki kemampuan membayar, jumlah kredit macet akan meningkat. Dalam skenario terburuk, hal ini dapat mengancam stabilitas sistem keuangan nasional, seperti yang terjadi dalam krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008.

Sebagai masyarakat biasa, saya melihat kebijakan LTV seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, pelonggaran LTV adalah kesempatan besar bagi banyak orang untuk memiliki rumah. Namun, di sisi lain, kebijakan ini sering kali tidak diimbangi dengan langkah-langkah lain untuk memastikan bahwa tujuan utamanya tercapai, yaitu memberikan akses terhadap perumahan yang terjangkau. Salah satu kelemahan terbesar dari kebijakan ini adalah kecenderungannya dimanfaatkan oleh kalangan berpenghasilan tinggi untuk membeli properti tambahan sebagai bentuk investasi. Akibatnya, rumah-rumah yang seharusnya ditujukan untuk tempat tinggal menjadi barang spekulasi yang semakin mendorong kenaikan harga. Menurut saya, kebijakan LTV perlu lebih difokuskan pada pembeli rumah pertama, bukan untuk pembeli properti kedua atau ketiga. Pemerintah dan perbankan perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa pelonggaran LTV benar-benar menjangkau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk menstabilkan harga properti. Tanpa upaya ini, pelonggaran LTV hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak mampu mengatasi akar masalah, yaitu keterjangkauan rumah.

Untuk menciptakan dampak positif yang berkelanjutan, saya percaya kebijakan LTV perlu disertai dengan langkah-langkah tambahan, seperti pemerintah dapat memberlakukan kebijakan yang mencegah kenaikan harga properti secara berlebihan. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif pajak bagi pengembang yang membangun rumah untuk kelas menengah ke bawah. Sebelum mengajukan kredit, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang memadai tentang risiko dan tanggung jawab yang terkait dengan pinjaman. LTV rendah hanya boleh diberlakukan untuk pembelian rumah pertama, sedangkan pembelian rumah tambahan harus dikenai aturan yang lebih ketat. Bank harus lebih selektif dalam mengevaluasi kemampuan membayar calon peminjam. Ini penting untuk mencegah risiko kredit macet yang dapat merusak stabilitas keuangan nasional.

Loan-to-Value adalah kebijakan yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses terhadap kredit dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan ini juga dapat membawa risiko serius, baik bagi individu maupun perekonomian nasional. Sebagai masyarakat, kita perlu mendorong pemerintah dan sektor perbankan untuk terus menyempurnakan kebijakan ini. Tujuannya sederhana: memastikan bahwa LTV benar-benar menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan yang inklusif, bukan sekadar instrumen pertumbuhan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Pada akhirnya, rumah adalah kebutuhan dasar yang harus dapat diakses oleh semua orang, bukan barang mewah yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil populasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun