Konsep twin deficit atau "defisit kembar" mengacu pada situasi di mana suatu negara mengalami defisit anggaran dan defisit neraca berjalan secara bersamaan. Defisit anggaran terjadi ketika pengeluaran pemerintah melebihi pendapatan yang diperoleh, sementara defisit neraca berjalan terjadi ketika nilai impor barang dan jasa lebih besar daripada nilai ekspor. Kedua defisit ini memiliki potensi besar untuk mengguncang stabilitas ekonomi suatu negara, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam konteks Indonesia, twin deficit sudah lama menjadi isu penting terutama pada saat krisis 1998 dan pada tahun 2020. Pada tahun 1997, defisit anggaran mencapai 2,5% dari PDB, dengan utang luar negeri sebesar $136 miliar, yang meningkat pada tahun 1998 menjadi $150,9 miliar. Twin deficit ini kembali muncul, terutama setelah pandemi COVID-19, di mana defisit anggaran tahun 2020 membengkak, dan utang luar negeri mencapai $398 miliar, dengan Debt Service Ratio sebesar 15%. Ketika dua jenis defisit ini terjadi secara bersamaan, dampaknya dapat dirasakan pada stabilitas ekonomi, nilai tukar, suku bunga, dan bahkan investor asing.
Ketika neraca berjalan defisit, permintaan terhadap mata uang asing meningkat karena nilai impor yang lebih besar dibandingkan ekspor. Ini menyebabkan tekanan pada nilai tukar, yang melemahkan mata uang domestik. Dengan melemahnya nilai tukar, harga impor akan naik, yang kemudian berdampak pada inflasi. Dalam jangka panjang, situasi ini bisa menekan daya beli masyarakat dan menambah tekanan pada ekonomi domestik. Twin deficit juga dapat mengganggu persepsi investor asing terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Investor cenderung lebih waspada terhadap negara yang memiliki risiko finansial tinggi akibat defisit kembar. Saat kepercayaan investor menurun, aliran modal asing pun ikut berkurang. Akibatnya, Indonesia bisa kehilangan sumber investasi yang penting untuk pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor strategis lainnya. Penurunan aliran modal juga dapat melemahkan cadangan devisa, yang membuat ekonomi semakin rentan terhadap gejolak eksternal.
Ketika pemerintah menghadapi defisit anggaran yang besar, seringkali mereka harus mengambil utang untuk menutupi kekurangan tersebut. Dalam jangka panjang, akumulasi utang pemerintah bisa menjadi beban yang semakin berat. Setiap tahun, anggaran negara harus menyisihkan dana yang signifikan untuk membayar bunga dan cicilan utang. Jika kondisi ini berlarut-larut, kapasitas pemerintah untuk melakukan investasi dalam sektor-sektor produktif, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur akan tergerus. Twin deficit dapat membatasi ruang gerak bank sentral dalam menerapkan kebijakan moneter. Untuk mengendalikan inflasi akibat melemahnya nilai tukar, bank sentral harus menaikkan suku bunga. Namun, jika suku bunga dinaikkan, akan ada dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut karena ketika susku bunga naik artinya biaya atau bunga dari pinjaman juga akan naik. Dilema ini membuat bank sentral dihadapkan pada dua pilihan yang sulit yakni harus menjaga stabilitas nilai tukar di sisi lain juga menjaga pertumbuhan ekonomi.
Dari kasus di Indonesia twin deficit disebabkan oleh beberapa hal yakni Pertama, ketergantungan pada impor, terutama untuk kebutuhan energi, bahan baku industri, dan barang modal. Ketika harga komoditas global naik, seperti harga minyak, beban impor juga meningkat. Hal ini menekan neraca berjalan dan memperbesar risiko defisit. Selain itu, ketergantungan pada impor juga membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan nilai tukar. Ekspor Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh komoditas mentah, seperti batu bara dan kelapa sawit, yang nilainya rentan terhadap fluktuasi harga global. Di sisi lain, Indonesia mengimpor produk-produk manufaktur bernilai tinggi. Ketidakseimbangan ini menyebabkan nilai impor jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor, sehingga menciptakan defisit neraca berjalan.
Kedua, Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak inisiatif pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1996, belanja negara mencapai Rp82.221 triliun dengan pengeluaran pembangunan sebesar Rp 26.897 miliar. Meskipun investasi infrastruktur ini penting, belanja besar-besaran sering kali memicu defisit anggaran yang lebih besar, terutama jika penerimaan negara dari pajak atau sumber lain tidak mencukupi untuk menutup pengeluaran tersebut. Selain itu, dalam situasi darurat seperti pandemi COVID-19 di tahun 2020 memaksa pemerintah untuk meningkatkan belanja untuk penanganan kesehatan dan bantuan sosial, yang menyebabkan defisit anggaran semakin membengkak. Pada tahun 2020 belanja APBN mencapai Rp2.595,5 triliun dengan defisit yang melonjak akibat pandemi, mencapai Rp947,7 triliun. Ketiga, Kurangnya diversifikasi ekonomi juga menjadi salah satu penyebab twin deficit. Sebagai negara yang ekonominya sangat bergantung pada komoditas, Indonesia rentan terhadap gejolak harga global. Ketika harga komoditas menurun, penerimaan ekspor juga ikut menurun, yang akhirnya menekan neraca berjalan. Selain itu, ketergantungan pada beberapa sektor saja membuat perekonomian sulit tumbuh dengan stabil, terutama jika terjadi perlambatan ekonomi global.
Salah satu solusi untuk mengurangi risiko twin deficit adalah dengan melakukan diversifikasi ekonomi. Pemerintah perlu mendorong pengembangan sektor manufaktur dan teknologi yang memiliki nilai tambah tinggi dan daya saing global. Dengan diversifikasi ini, ketergantungan pada ekspor komoditas bisa dikurangi, sehingga neraca berjalan menjadi lebih stabil. Pemerintah juga bisa memberikan insentif kepada perusahaan lokal yang berorientasi ekspor dan melakukan inovasi dalam produksi untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu lebih bijak dalam pengelolaan anggaran. Belanja yang tidak produktif perlu diminimalisasi, sementara alokasi anggaran harus difokuskan pada sektor-sektor yang memberikan dampak besar bagi ekonomi. Selain itu, reformasi perpajakan harus terus dilanjutkan agar penerimaan negara bisa meningkat. Dengan penerimaan yang lebih besar dan pengeluaran yang efisien, pemerintah bisa mengurangi defisit anggaran dan membangun cadangan fiskal yang lebih kuat. Pemerintah perlu mendorong masuknya investasi asing langsung (FDI) dalam sektor-sektor strategis yang mampu mengurangi ketergantungan pada impor, seperti sektor energi terbarukan dan industri manufaktur. Dengan FDI yang kuat, Indonesia bisa mengurangi kebutuhan impor untuk bahan baku dan energi, yang pada akhirnya mengurangi defisit neraca berjalan. Selain itu, FDI juga bisa membantu menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Twin deficit merupakan tantangan yang kompleks bagi perekonomian Indonesia. Ketika defisit anggaran dan defisit neraca berjalan terjadi secara bersamaan, dampaknya tidak hanya dirasakan dalam bentuk ketidakstabilan nilai tukar, tetapi juga mengganggu kepercayaan investor dan memperburuk beban utang negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi risiko twin deficit, baik melalui diversifikasi ekonomi, efisiensi anggaran, maupun memperkuat cadangan devisa. Dengan kebijakan yang tepat dan berkelanjutan, Indonesia bisa menghadapi tantangan twin deficit dengan lebih baik sekaligus mewujudkan perekonomian yang stabil dan berdaya saing tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H