Indonesia merupakan negara penghasil besar dalam tatananan perdagangan karet dunia, terutama karet alam yang berkembang sejak pemerintah Hindia Belanda. Karet alam mulai masuk dalam penatakelolaan system perkebunan, penggunaan varietas unggul hingga model pengolahan yang kemudian mampu mengekspor sepertiga dari total ekspor Hindia Belanda pada tahun 1928 (Strommberg, 2018).
Dalam perkembangan industry berikutnya, faktanya Indonesia menjadi tertinggal dari Thailand, Vietnam, dan Malaysia, dimana mengalami penurunan sebesar -2,05%/tahunm -4,58%/tahun dan -14,15%/tahun sejak 2006-2021. Namun demikian, volume ekspor karet di Indonesia tumbuh positif dan melandai pada 0,77%/tahun (Policy Brief, Kementan 2023).
Fakta penting karet Indonesia adalah menurunnya kinerja usaha perkebunan dan pengolahan karet alam semakin menurun dengan beberapa penyebab diantaranya:
- Harga karet yang cenderung dalam posisi stabil rendah , yang menyebabkan petani karet neggan melakukan perawatan, dan melakukan konversi menjadi sawit. Data BPS 2006-2024, menunjukkan harga karet yang masih dikisaran maksimal Rp 10.000,-/Kg.
- Fluktuasi harga domestik yang sngat terkait erat dengan harga pasar global dan nilai tukar rupiah terhadap US$. Korelasi ini terdapat pada 2 jenis karet dunia TSR20 dan RSS33 dengan harga bokar domestic masing-masing 0,76 dan 0,73.
- Biaya input tanaman perkebunan selama kurun waktu 2019-2024 naik tajam di 15,43% dipicu dengan naiknya berbagai jenis pupuk dan pestisida, serangan hama dan penyakit seperti jamur akar putih, hingga biaya transportasi-komunikasi, dimana variable ini masing-masing mendorong kenaikan input sebesar 17,45%-22,07% dan mendorong peralihan komoditi lain.
- Produktifitas karet di Indonesia pada 2023 hanya di 1,05 ton/ha/tahun, turun hingga 1,21ton/ha/tahun pada 2017. Pada 2024 Indonesia tercatat dalam 2,65 juta ton secara produktivitas (Kompas.id, 12 Mei 2024). Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) melaporkan selama 2017-2022, hanya terdapat 45 pabrik pengolahan karet (dari 152 menjadi 107), dengan total kapasitas produksi 1,4 juta ton/tahun dan terpaksa ditutup karena kekurangan bahan baku karet (Kompas.id, 10 Juli 2023).
Dari beberapa variable penyebab turunnya komoditi karet yang sempat menjadi primadona ini, tentu masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Indonesia dengan adanya kebijakan baru dari Uni Eropa yang menggaungkan regulasi The Europen Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Kebijakan ini pertamakalinya diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019. Tujuannya adalah memastikan komitmen negara pengekspor karet khususnya tentang rantai pasokan yang bebas deforestasi, meningkatkan transparansi dan meminimalisir risiko deforestasi dan degradasi hutan terkait dengan pasar global ke UE. Kebijakan ini tentu saja sudah terkonfirmasi dengan kebijakan lain seperti Europen Green Deal dan EU Biodiversity Strategy and the Farm to Fork Strategy dan EUDR yang kemudian ditetapkan oleh UE pada 29 Juni 2023.
tentang rantai pasokan bebas deforestasi, meningkatkan transparansi rantai pasokan, dan meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan impor komoditas ke UE. Komitmen ini juga telah dikofimasi dengan kebijakan European Green Deal serta EU Biodiversity Strategy and the Farm to Fork Strategy, dan kemudian EUDR ditetapkan oleh UE pada 29 Juni 2023 dan akanm berlaku mulai awal 2025 dengan mulai penataan hingga 29 Desember 2024.
Sayangnya, kebijakan ini diambil tanpa melibatkan negara-negara penghasil karet utama, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia dan Indonesia, sehingga menimbulkan berbagai gejolak kekhawatiran bahkan ketidakmampuan dalam mengikuti nilai standarisasi yang tinggi. Di sisi lain, bahkan dinilai tidak mempertimbangkan kemampuan petani karet untuk berkelanjutan ataupun perlindungan data pribadi.
Inilah yang kemudian mendorong inisiasi Joint Task Force (JTF) dengan pertemuan kedua pada 2 Februari 2024 dengan 5 point utama: 1) masuknya petani kecil termasuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam skema rantai pasok komoditas, 2) mengatasi gap analysis antara ketentuan EUDR dengan standard Nasional (ISPO dan MSPO), 3) mengembangkan traceability tools, 4) country benchmarking dengen menyediakan metodologi dan sumber data, 5) perlindungan data pribad (https://ekon.go.id/, 24 Mei 2024).
Warm Strategy dan Green Economy Karet Indonesia
Green economy, menjadi konsep dasar dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi-sosial sekaligus mampu meminimalisir risiko kerusakan lingkungan, rendah karbon, efisiensi sumber daya energi dan inklusif. Konsep ini bahkan menjadi salah satu upaya pembangunan Indonesia dengan mmasukkan enablers atau factor investasi pertumbuhan hijau, melalui perencanaan sektoral, mulai dari kabupaten, provinsi dan nasional.
Kebijakan ini dilakukan dengan target net-zero emission pada 2030 dengan biaya yang diperkirakan mencapai Rp 28,223 triliun guna: perbaikan hutan, memperkenalkan carbon market, peningkatan ketahanan pangan, mengurangi limbah dan meningkatkan produktivitas domestik. Green economy juga dinilai menjadi transformasi ekonomi dalam jangka panjang dalam pembangunan berkelanjutan.
Natural rubber menjadi salah satu produk yang dinilai akan mempu bertahan di pasar global. Natural rubber yang dinilai memiliki keberlanjutan  dan mampu meminimalisir dampak negatif, mempromosikan keanekaragaman hayati dari segmen hulu hingga hilir yang mampu mencakupsemua pemangku kepentingan, termasuk petani karet, masyarakat dan planet secara lingkungan-ekonomi-dan nilai sosial (Li et al., 2006; Ahrends et al., 2015; Kenney-Lazar et al., 2018).