Karena, esensi perjanjian ini adalah 'perlindungan atas hak dan kewajiban kita sebagai subyek atas ikrar pernikahan', sebagai jaminan legalitas saat badai datang menghadang dan sekaligus bukti kesiapan dan kesungguhan kita membangun komitmen untuk 'setia berpasangan' hingga hari tua mendatang.
Caranya bagaimana? Sangat simpel dan mudah dilakukan oleh para pasangan.
Pertama, melengkapi daftar 'kenginan kita' sebagai pasangan
Pada perjanjian pranikah, kita bisa menuangkan apapun yang kita dan pasangan inginkan hingga sebuah harapan yang akan kita tuju bersama.Â
Soal handuk mandi yang tak boleh diletakkan sembarangan oleh pasangan pun bisa dituangkan, begitu juga dengan hutang, asset, usaha ataupun bisnis (dan valuasinya) yang dimiliki oleh pasangan sebelum dan sesudah pernikahan, hingga cicilan, bisa diletakkan didalamnya.
Kedua, berkonsultasi dengan advokat
Setelah kita membuat dan menyepakati bersama apa saja yang menjadi keinginan dan harapan kita bersama pasangan, langkah berikutnya adalah konsultasi kepada pengacara (advokat) atau konsultan hukum.Â
Hal ini dilakukan guna menjaga atau meminimalisir adanya kesalahfahaman antar pasangan. Dan tentu saja, mengantisipasi keinginan atau harapan yang mungkin pasangan sebenarnya keberatan namun tak berani menyuarakan.
Ketiga, sahkan perjanjian pranikah di hadapan notaris
Perjanjian pranikah meski sudah dijamin dalam UU Perkawinan 1/1974 akan keberadaannya, namun secara khusus, penting disahkan oleh notaris agar memperoleh kedudukan 'hukum' dari perjanjian ini.Â
Di sini, notaris akan menyusun perjanjian pranikah yang telah menjadi kesepakatan bersama dan disahkan menjadi sebuah 'Akta Perjanjian Pranikah'.Â